Rabu, 25 Juli 2012

metafisika


Christian Budi Setiawan
STF Driyarkara

Metafisika

Heidegger pada awalnya seorang calon imam Jesuit, tetapi ia memutuskan untuk tidak melanjutkan karena alasan kesehatan. Ia kemudian berpaling pada Matematika dan ilmu alam dan kemudian ke filsafat. Ketertarikan Heidegger pada filsafat dan teologi berpusat pada filsafat abad pertengahan dalam terang dan pencariannya ke dalam dasar logika modern dan penyangkalan Husserl  akan psikologi. Sebagai seorang filsuf Heidegger menolak sebuah bentuk empiris dan relativis. Ia bahkan menentang secara teologis terhadap modernism, sebuah bentuk relativisme sejarah yang mengancam akan merusak kebenaran sebuah teologi. Heidegger melihat ada aspek yang saling terkait antara penyelidikan Husserl yang meletakkan logika dan matematika pada dasar fenomenologi murni dan tradisi skolastikat tentang tata bahasa spekulatif pada akhir abad pertengahan.
Heidegger melihat secara lain tradisi abad pertengahan. Heidegger melihat bahwa kesulitan teori para filsuf dan teolog abad pertengahan karena dimulai dari pengalaman hidup yang konkret seperti teori mengenai hubungan jiwa dan Allah. Untuk memahami dimensi abad pertengahan Heidegger mengajak kita untuk mengikuti teologi moral dan mistik abad pertengahan. Berkenaan dengan gagasan mistik tentang jiwa Allah keseluruhan, dapat dilihat dalam konsep metafisik bahwa intelek adalah sebuah inner harmony dan ketermasukkannnya pada being (ada). Gagasan tentang “belongs” kepada being/ada menjadi gagasan Heidegger yang tetap dipertahankannya dalam pemikirannya selanjutnya.
Dengan memahami ari kehidupan mistisisme dalam tradisi abad pertengahan, Heidegger membuat usaha untuk membongkar (destruction) terhadap tradisi. “Pembongkaran” tersebut lebih dimaksud pada pembongkaran melalui konsep-konsep yang tampak tradisi metafisika agar mendapat kembali atau membaharui akar  kehidupannya dan pengalaman-pengalaman yang menghidupkan. Ini merupakan sebuah sikap khas pada Heidegger dimana mendekonstruksi metafisiska atau sekarah ontologi dalam Being and Time yang selalu dapat dimengerti sebagai usaha mendasar yang positif dan bukan negatif.
Tahap Tulisan-Tulisan Awal
Heidegger menikah dengan Elfride pada tahun 1917. Kemudian pada tahun 1919 tepatnya pada saat pembaptisan anaknya, Heidegger menulis surat  kepada Engerbert Kreb (imam muda yamg menikahkannya dan membaptis anaknya) bahwa ia tidak dapat  menerima penegatahuan epistemologi yang secara luas merupakan teori sejarah pengetahuan yang telah membentuk sistem problematika kekatolikan. Heidegger dapat menerima kekristenan dan metafisika.
Perubahan dari kekatolikan kepada protestantisme menimbulkan ketertarikan pada filsafat dari pemikir muda bergeser dari pertanyaan tentang logika ke pertanyaaan tentang sejarah, dari fenomenologi murni seperti Husserl kepada hermeneutic faktisitas, contohnya kehidupan konkret, dan dari Teologi Dogmatik kepada Teologi Perjanjian Baru. Heidegger tidak berpedoman pada teolog skolastikat, tetapi pada Pascal, Kierkegaard, dan Luther yang mengarahkan kembali kepada Agustinus dan Paulus. Heidegger melakukan studi yang intensif tentang pengalaman faktisitas dari komunitas-komunitas Perjanjian Baru dalam usaha untuk memperbaharui pengalaman kekristenan yang otentik. Heidegger dalam usaha untuk memformulasikan hermeunetik faktisitas  dalam Being and Time merupakan analisis eksistensial dimana tanda-tanda khusus dari faktisitas kehidupan, dari Dasein, diinspirasi oleh kritik Luther atas metafisika Abad Pertengahan dan kritik Kierkegaard terhadap Hegel.  Salah satu bagian penting dalam kuliah Heidegger tentang Agustinus dimana ia berusaha mendapat kembali pengalaman umat Kristen akan waktu yang disembunyikan dibawah bangunan metafisika Neoplatonik yang disembunyikan dalam tulisan-tulisan Agustinus.
Penghancuran sejarah ontologi dalam Being and Time yang kemudian lebih dikenal sebagai usaha Heidegger mengatasai metafisika merupakan usaha untuk menemukan kembali kategori-kategori mengenai kenyataan hidup kristiani.  Heidegger melaksanakan sebuah proyek serupa berkaitan dengan Aristoteles. Heidegger berusaha mematahkan konsep Aristoteles mengenai konsep metafisik, yang merupakan bagian buku Aristoteles (secara editorial), bahwa teologi Abad Pertengahan telah berusaha mencapai hal tersebut, untuk menemukan sumber yang dalam.
Usaha yang akhirnya menghasilkan Being and Time terjalin dengan pertanyaan teologis dari pencarian akan sesuatu, dari Aristoteles, di satu sisi dan Perjanjian Baru di lain sisi. Untuk kategori-kategori  kehidupan yang nyata—kategori tentang ketelitian/perhatian, dan eksistensi, perhatian dan perantaranya, dari temporalitas dan historisitas. Ada historisme yang aneh dalam Heidegger yang sangat mengkin dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl tentang struktur-struktur universal dari kehidupan. Tujuan Being and Time adalah merumuskan struktur-struktur yang sebenarnya, untuk memberi konseptualisasi formal-ontologis bahwa secara ontologis netral pada instansiasinya yang konkret. Hal itu merupakan pembedaan antara ‘eksistensial, dan ‘eksistentiell’ atau  ontologi dan ontik. Maksud Heidegger adalah untuk menetapkan sebuah struktur universal yang a priori dari kehidupan eksistensial, dari Dasein yang ada tanpa memperhatikan apakah struktur pada kenyataannya sebenarnya, yaitu sebagai sesuatu yang eksistensial, Yunani atau Kristen. 
Tujuan Being and Time adalah menjaga, menganalisis eksistensial yang bebas dari existentiell idea, apa saja konkret, cara yang sesungguhnya untuk menjadi Kristen atau Yunani. Tidak ada indikasi dalam tulisannya bahwa keberadaan Yunani kurang lebih primordial daripada Kristen, tetapi sebaliknya mereka berdua mewakili’existentiell ideal’.
Teolog Kristiani membaca Being and Time maka mereka menemukan diri mereka, manatap diri sendiri, diformalisasikan, diontologisasikan, atau demitologiasasi, seperti yang dikatakan Bultmann. Ketika menerapkan Being and Time untuk teologi Kristen, Bultmann mendeformulalisasikan analisis eksistensial dan mengartikulasikan itu dalam hal spesifik historis yaitu sejarah Kristen. Alasan deformulalisasi adalah bahwa analisis eksistensial berada di tempat yang pertama dan tidak kecil, hal itu merupakan isu formalisasi kehidupan factial Kristen.
Heidegge berpandangan tentang hubungan ilmu pengetahuan fenomenologis universal dan teologi dalam kuliah terakhirnya di Marburg. Filsafat sebagai ilmu itu sendiri berbeda dengan teologi yang merupakan sebuah ilmu ontik tentang segi tertentu dari being dari keberadaan universal. Teologi adalah sebuah ilmu positif karena berhubungan dengan sebuah entitas positif yang membuatnya lebih mirip kimia daripada filsafat. Posisi teologi Kristen, yang diartikan Heidegger, adalah bentuk faktual dari keberadaan sebagai seorang Kristen yang percaya yang ada dalam sejarah, yang telah diatur dalam gerakan oleh salib. Teologi adalah usaha membawa kelahiran  eksistensial kembali yang datang oleh iman ke  bentuk konseptual. Teologi adalah ilmu tentang iman.  Itu membuat iman lebih mudah, tetapi lebih keras dan karena tidak memberikan iman landasan rasional, tetapi menunjukkan apa yang tidak dapat dilakukan teologi.
Teologi berdasarkan iman dan iman tidak membutuhkan filsafat, tetapi teologi adalah ilmu positif. Salib, dosa hanya dapat dihidupi dalam iman, tetapi dapat dikonseptualisasikan dalam filsafat. Karena iman dilahirkan dalam dosa, tetapi dosa merupakan sesuatu yang terbatas dari struktur ontologis dari kesalahan dalam Being and Time. Kosep Kristiani mengenai dosa bergantung pada penjelasan akan konsep prakristiani mengenai dosa. Konsep teologi mengenai dosa diangkat dari pengalaman iman, tetapi hal tersebut dikonsepkan dengan bantuan filsafat.
Tahap Kedua: Masa Perang
Fenomenologi dan teologi adalah bentuk pernyataan Heidegger terhadap teologi Kristen sebagai suatu masalah yang dikemukakan secara eksplisit dan membutuhkan perhatian secara personal. Pada masa ini adalah masa kelam Heidegger dimana ia mendukung gerakan Partai Sosialis yang mempunyai pengaruh di universitas di Jerman. Ia menjadi orang yang suka dengan pemikiran Nietzche, Kierkegaard, Luther, dan Aristoteles. Heidegger juga berbicara mengenai nihilisme yang dimaksudnya adalah efek-efek buruk dari modernitas dan institusi demokrasi. Semua ini dilihat sebagai kumpulan teori nilai. Heidegger berbicara mengenai cinta dalam bahaya, kebutuhan untuk mengekspresikan diri dari being, untuk menjelajah sampai ke dasar-dasar dari being.
            Perkembangan pemikiran yang tak menyenangkan dari Heidegger berhubungan dengan konsep teologis yang sedang berubah. Ia yang pada awalnya seorang Katolik konservatif kemudian menjadi tokoh yang menentang ajaran Kristen pada umumnya dan Katolik secara khusus. Ini dapat dilihat dengan tidak mau menerima mahasiswa dari Jesuit dan mengancam mahasiswa katolik.
            Dengan metodenya yang selalu ateis filsafatnya kehilangan kenetralan ontologi dan menjadi musuh bagi kristianitas. Menurutnya filsafat harus menjadi prinsip dalam a-theistik. Heidegger secara jelas nyakin bahwa ada suatu kontradiksi eksistensial antara pertanyaan filosofis yang real dan pernyataan iman. Orang-orang beriman tidak mempunyai hasrat yang kuat untuk memasuki pertanyaan mengenai ada. Dalam pandangan yang ia nyakini saat itu, juga membuat  kekuatan kontrarevolusi iman kristiani dari sudut pandang ‘pembaharuan’ sosialis nasional.
            Dalam kalangan teolog Katolik, pengaruh Heidegger begitu besar. Terlihat dengan teolog-teolog yang mengikuti pengajaran-pengajarannya, misalnya Muller, Gustav Siewert, Johanes Lotz, dan Karl  Rahner (mereka adalah Jesuit Jerman). Rahner menempatkan refleksi Heidegger dalam teologi, dengan membuktikan bahwa kaum beriman secara ontologis cenderung kepada pewahyuan, bahwa hal ini merupakan suatu struktur ontolog dalam Dasein dimana didalamnya setiap being ditujukan pada dirinya sendiri. Struktur ontologis mengungkapkan kondisi kemungkinan ada yang dituntut oleh Sabda bahwa Bapa berbicara kepada manusia. Heidegger telah memberi sebuah bacaaan Yunani kuno bahwa hal tersebut tidak mungkin dinyakini karena bukan hasil dari pemindahan kategori kristianitas kepada teks-teks Yunani kuno. Ia menyebutnya sebagai setengah-tema kenabian karena ‘ sebuah permulaan yang lain’ yang mirip sebagai metanoia (pertobatan) dan kedatangan kerjaan, atau kedatangannya yang kedua. Ia memandang hubungan ada dan pikiran Parmeneides dan Herakleitos dalam tema kerygma untuk membuktikan bahwa filsuf Yunani kuno mengambil ada untuk dikenakan pada manusia. Heidegger mengatakan bahwa konsep historisnya yang mendalam tentang ada termasuk dalam konsep eskatologis dari’sejarah ada’ dan merupakan pemahaman Yunani yang fundamental. Murid-murid Heidegger yang fanatik mengatakan bahwa ia secara jelas menghelenisasi dan mensekularisasikan konsep fundamental Kitab Suci tentang sejarah keselamatan.
Tahap Ketiga: Tulisan-Tulisan Kemudian
Perubahan mendasar dalam pemikiran Heidegger terjadi dan dengan nuansa religius yang terbuka. Lengkingan antagonis kekristenan selama bertahun-tahun berganti menjadi mistik. Heidegger mengatakan kembali ke awal teologi. Ia pada awalnya tertarik pada mistisime Abad Pertengahan. Hubungan Heidegger pascaperang dengan teolog, baik itu Katolik maupun Protestan secara dramatis berbalik. Dalam persidangan denazification dilaksanakan setelah perang, Heidegger yang terkepung  akhirnya mendapat bantuan dari Uskup Agung Freiburg, Conrard Groben.
            Hubungan yang membaik itu tidak berarti bahwa Heidegger kembali kepada iman masa mudanya. Dimensi mistis dalam pemikiran kemudian merupakan urusan struktural yang tegas,  beberapa masalah proporsionalitas tentang: ‘hubungan dari berpikir untuk menjadi’ secara sruktural seperti hubungan jiwa dan Tuhan dalam mistisime agama. Berpikir diarahkan ke berada bukan Tuhan. Ada bukan Tuhan melainkan hal yang terjadi kebenaran ada, datang untuk melewati sejarah manifestasi ada—dari Yunani awal hingga kehendak untuk berkuasa.
Sejarah  dipahami sebagai sejarah kebenaran atau kenyataan, berbagai macam pandangan bahwa ada berlangsung selama berabad-abad (seperti eidos dalam Plato, roh dalam Hegel, seperti kehendak berkuasa dalam postmodern) sebagai lawan dari sejarah politik, militer, sosial, atau ekonomi. Sejarah bukan sejarah manusia, tetapi sejarah ada terungkap di bawah inisiatif dari keberadaan sudah memberi kepada dan penarikan dari pikiran.
Status Allah,dalam Heidegger kemudian lebih religius, pemikiran mistis banyak diperdebatkan. Heidegger tidak berbicara mengenai Tuhan, tetapi Allah dari sudut pandangn Yahudi-Kristen, telah kehilangan kekuasaan berdaulat atas sejarah dan menjadi fungsi dari sejarah ada itu. Heidegger pada titik mengidentifikasi usia (waktu) yang hilang dari Roh Kudus sebagai waktu dari agama orang Yunani, Perjanjian Lama, dan pemberitaan tentang Yesus menunjukkan semacam ahistorisisme tentang berbagai cara bahwa Roh Kudus dapat memanifestasikan dirinya dan mengambil pelbagai bentuk dalam sejarah, tidak ada yang mutlak. Namun, Heidegger menunjukkan preferensi dalam  tulisan-tulisan dalam dunia orang Yunani, karena pengalaman akan yang ada sebagai fisis dan aletheia dan untuk pengalaman dari dewa sebagai bagian dari empat lapisan, yaitu bumi dan langit, manusia dan dewa. Ini merupakan konsep Holderlinian yang mendalam yang diambilnya dari puisi Holderlin dari dunia Yunani. Dewa yang muncul dalam tulisan Heidegger adalah dewa yang sangat puitis. Pengalaman puitis dunia sebagai sesuatu yang suci dan layak mendapatkan penghormatan
Para teolog kristiani member perhatian tentang tulissan-tulisan Heidegger. Kemudian muncul gelombang yang menaruh perhatian pada karya Heidegger dengan sikap reflektif. Teologi ini telah mengapresiasi kesejarahan daalam pandangan Heidegger mengenai ”Being” dan berkaitan dengan apa yang mereka lakukan untuk menunjang karya teologi. Ada pula pandangan Heidegger yang ditolak mengenai Humanisme dengan alasan akan memunculkan kemungkinan baru akan teologi. Hasil dari “thinking”bagi teologi berhenti pada Allah sebagai Causa Sui, sebagai penyebab yang menciptakan dan menyokong kosmos dan malahan Allah berhadapan dengan seorang yang bisa menari atau menekuk lututnya. Panggilan ini sungguh ‘divine God’ dan mengingatkan kita akan perintah Pascal yang menyesampingkan Allah filsuf di dalam kebaikan Allah Abraham dan Ishak. Ini membuka perumusan akhir dari thinking dalam hubungan dengan iman religius. Heidegger mengungkapkan tanda-tanda sebuah zaman baru dari yang Kudus, suatu zaman dimana Allah sungguh-sungguh menjadi Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar