Christian Budi Setiawan
STF Driyarkara
Metafisika
Heidegger
pada awalnya seorang calon imam Jesuit, tetapi ia memutuskan untuk tidak
melanjutkan karena alasan kesehatan. Ia kemudian berpaling pada Matematika dan
ilmu alam dan kemudian ke filsafat. Ketertarikan Heidegger pada filsafat dan
teologi berpusat pada filsafat abad pertengahan dalam terang dan pencariannya
ke dalam dasar logika modern dan penyangkalan Husserl akan psikologi. Sebagai seorang filsuf
Heidegger menolak sebuah bentuk empiris dan relativis. Ia bahkan menentang
secara teologis terhadap modernism, sebuah bentuk relativisme sejarah yang
mengancam akan merusak kebenaran sebuah teologi. Heidegger melihat ada aspek
yang saling terkait antara penyelidikan Husserl yang meletakkan logika dan
matematika pada dasar fenomenologi murni dan tradisi skolastikat tentang tata
bahasa spekulatif pada akhir abad pertengahan.
Heidegger
melihat secara lain tradisi abad pertengahan. Heidegger melihat bahwa kesulitan
teori para filsuf dan teolog abad pertengahan karena dimulai dari pengalaman
hidup yang konkret seperti teori mengenai hubungan jiwa dan Allah. Untuk memahami
dimensi abad pertengahan Heidegger mengajak kita untuk mengikuti teologi moral
dan mistik abad pertengahan. Berkenaan dengan gagasan mistik tentang jiwa Allah
keseluruhan, dapat dilihat dalam konsep metafisik bahwa intelek adalah sebuah inner harmony dan ketermasukkannnya pada
being (ada). Gagasan tentang “belongs” kepada being/ada menjadi gagasan Heidegger yang tetap dipertahankannya
dalam pemikirannya selanjutnya.
Dengan
memahami ari kehidupan mistisisme dalam tradisi abad pertengahan, Heidegger
membuat usaha untuk membongkar (destruction) terhadap tradisi. “Pembongkaran”
tersebut lebih dimaksud pada pembongkaran melalui konsep-konsep yang tampak
tradisi metafisika agar mendapat kembali atau membaharui akar kehidupannya dan pengalaman-pengalaman yang
menghidupkan. Ini merupakan sebuah sikap khas pada Heidegger dimana
mendekonstruksi metafisiska atau sekarah ontologi dalam Being and Time yang selalu dapat dimengerti sebagai usaha mendasar
yang positif dan bukan negatif.
Tahap
Tulisan-Tulisan Awal
Heidegger
menikah dengan Elfride pada tahun 1917. Kemudian pada tahun 1919 tepatnya pada
saat pembaptisan anaknya, Heidegger menulis surat kepada Engerbert Kreb (imam muda yamg
menikahkannya dan membaptis anaknya) bahwa ia tidak dapat menerima penegatahuan epistemologi yang secara
luas merupakan teori sejarah pengetahuan yang telah membentuk sistem
problematika kekatolikan. Heidegger dapat menerima kekristenan dan metafisika.
Perubahan
dari kekatolikan kepada protestantisme menimbulkan ketertarikan pada filsafat
dari pemikir muda bergeser dari pertanyaan tentang logika ke pertanyaaan
tentang sejarah, dari fenomenologi murni seperti Husserl kepada hermeneutic
faktisitas, contohnya kehidupan konkret, dan dari Teologi Dogmatik kepada
Teologi Perjanjian Baru. Heidegger tidak berpedoman pada teolog skolastikat,
tetapi pada Pascal, Kierkegaard, dan Luther yang mengarahkan kembali kepada
Agustinus dan Paulus. Heidegger melakukan studi yang intensif tentang
pengalaman faktisitas dari komunitas-komunitas Perjanjian Baru dalam usaha
untuk memperbaharui pengalaman kekristenan yang otentik. Heidegger dalam usaha
untuk memformulasikan hermeunetik faktisitas
dalam Being and Time merupakan analisis eksistensial dimana tanda-tanda
khusus dari faktisitas kehidupan, dari Dasein, diinspirasi oleh kritik Luther
atas metafisika Abad Pertengahan dan kritik Kierkegaard terhadap Hegel. Salah satu bagian penting dalam kuliah
Heidegger tentang Agustinus dimana ia berusaha mendapat kembali pengalaman umat
Kristen akan waktu yang disembunyikan dibawah bangunan metafisika Neoplatonik
yang disembunyikan dalam tulisan-tulisan Agustinus.
Penghancuran
sejarah ontologi dalam Being and Time yang
kemudian lebih dikenal sebagai usaha Heidegger mengatasai metafisika merupakan
usaha untuk menemukan kembali kategori-kategori mengenai kenyataan hidup
kristiani. Heidegger melaksanakan sebuah
proyek serupa berkaitan dengan Aristoteles. Heidegger berusaha mematahkan
konsep Aristoteles mengenai konsep metafisik, yang merupakan bagian buku Aristoteles
(secara editorial), bahwa teologi Abad Pertengahan telah berusaha mencapai hal
tersebut, untuk menemukan sumber yang dalam.
Usaha
yang akhirnya menghasilkan Being and Time
terjalin dengan pertanyaan teologis dari pencarian akan sesuatu, dari Aristoteles,
di satu sisi dan Perjanjian Baru di lain sisi. Untuk kategori-kategori kehidupan yang nyata—kategori tentang
ketelitian/perhatian, dan eksistensi, perhatian dan perantaranya, dari
temporalitas dan historisitas. Ada historisme yang aneh dalam Heidegger yang
sangat mengkin dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl tentang struktur-struktur
universal dari kehidupan. Tujuan Being
and Time adalah merumuskan struktur-struktur yang sebenarnya, untuk memberi
konseptualisasi formal-ontologis bahwa secara ontologis netral pada
instansiasinya yang konkret. Hal itu merupakan pembedaan antara ‘eksistensial,
dan ‘eksistentiell’ atau ontologi dan
ontik. Maksud Heidegger adalah untuk menetapkan sebuah struktur universal yang a priori dari kehidupan eksistensial,
dari Dasein yang ada tanpa memperhatikan
apakah struktur pada kenyataannya sebenarnya, yaitu sebagai sesuatu yang
eksistensial, Yunani atau Kristen.
Tujuan
Being and Time adalah menjaga, menganalisis
eksistensial yang bebas dari existentiell idea, apa saja konkret, cara yang sesungguhnya
untuk menjadi Kristen atau Yunani. Tidak ada indikasi dalam tulisannya bahwa
keberadaan Yunani kurang lebih primordial daripada Kristen, tetapi sebaliknya
mereka berdua mewakili’existentiell ideal’.
Teolog
Kristiani membaca Being and Time maka
mereka menemukan diri mereka, manatap diri sendiri, diformalisasikan,
diontologisasikan, atau demitologiasasi, seperti yang dikatakan Bultmann.
Ketika menerapkan Being and Time
untuk teologi Kristen, Bultmann mendeformulalisasikan analisis eksistensial dan
mengartikulasikan itu dalam hal spesifik historis yaitu sejarah Kristen. Alasan
deformulalisasi adalah bahwa analisis eksistensial berada di tempat yang
pertama dan tidak kecil, hal itu merupakan isu formalisasi kehidupan factial
Kristen.
Heidegge
berpandangan tentang hubungan ilmu pengetahuan fenomenologis universal dan
teologi dalam kuliah terakhirnya di Marburg. Filsafat sebagai ilmu itu sendiri
berbeda dengan teologi yang merupakan sebuah ilmu ontik tentang segi tertentu
dari being dari keberadaan universal.
Teologi adalah sebuah ilmu positif karena berhubungan dengan sebuah entitas
positif yang membuatnya lebih mirip kimia daripada filsafat. Posisi teologi
Kristen, yang diartikan Heidegger, adalah bentuk faktual dari keberadaan
sebagai seorang Kristen yang percaya yang ada dalam sejarah, yang telah diatur
dalam gerakan oleh salib. Teologi adalah usaha membawa kelahiran eksistensial kembali yang datang oleh iman
ke bentuk konseptual. Teologi adalah
ilmu tentang iman. Itu membuat iman
lebih mudah, tetapi lebih keras dan karena tidak memberikan iman landasan
rasional, tetapi menunjukkan apa yang tidak dapat dilakukan teologi.
Teologi
berdasarkan iman dan iman tidak membutuhkan filsafat, tetapi teologi adalah ilmu
positif. Salib, dosa hanya dapat dihidupi dalam iman, tetapi dapat
dikonseptualisasikan dalam filsafat. Karena iman dilahirkan dalam dosa, tetapi
dosa merupakan sesuatu yang terbatas dari struktur ontologis dari kesalahan
dalam Being and Time. Kosep Kristiani
mengenai dosa bergantung pada penjelasan akan konsep prakristiani mengenai
dosa. Konsep teologi mengenai dosa diangkat dari pengalaman iman, tetapi hal
tersebut dikonsepkan dengan bantuan filsafat.
Tahap
Kedua: Masa Perang
Fenomenologi
dan teologi adalah bentuk pernyataan Heidegger terhadap teologi Kristen sebagai
suatu masalah yang dikemukakan secara eksplisit dan membutuhkan perhatian
secara personal. Pada masa ini adalah masa kelam Heidegger dimana ia mendukung
gerakan Partai Sosialis yang mempunyai pengaruh di universitas di Jerman. Ia menjadi
orang yang suka dengan pemikiran Nietzche, Kierkegaard, Luther, dan
Aristoteles. Heidegger juga berbicara mengenai nihilisme yang dimaksudnya
adalah efek-efek buruk dari modernitas dan institusi demokrasi. Semua ini
dilihat sebagai kumpulan teori nilai. Heidegger berbicara mengenai cinta dalam
bahaya, kebutuhan untuk mengekspresikan diri dari being, untuk menjelajah sampai ke dasar-dasar dari being.
Perkembangan pemikiran yang tak
menyenangkan dari Heidegger berhubungan dengan konsep teologis yang sedang
berubah. Ia yang pada awalnya seorang Katolik konservatif kemudian menjadi
tokoh yang menentang ajaran Kristen pada umumnya dan Katolik secara khusus. Ini
dapat dilihat dengan tidak mau menerima mahasiswa dari Jesuit dan mengancam mahasiswa
katolik.
Dengan metodenya yang selalu ateis
filsafatnya kehilangan kenetralan ontologi dan menjadi musuh bagi kristianitas.
Menurutnya filsafat harus menjadi prinsip dalam a-theistik. Heidegger secara jelas nyakin bahwa ada suatu
kontradiksi eksistensial antara pertanyaan filosofis yang real dan pernyataan
iman. Orang-orang beriman tidak mempunyai hasrat yang kuat untuk memasuki
pertanyaan mengenai ada. Dalam pandangan yang ia nyakini saat itu, juga
membuat kekuatan kontrarevolusi iman
kristiani dari sudut pandang ‘pembaharuan’ sosialis nasional.
Dalam kalangan teolog Katolik, pengaruh
Heidegger begitu besar. Terlihat dengan teolog-teolog yang mengikuti pengajaran-pengajarannya,
misalnya Muller, Gustav Siewert, Johanes Lotz, dan Karl Rahner (mereka adalah Jesuit Jerman). Rahner
menempatkan refleksi Heidegger dalam teologi, dengan membuktikan bahwa kaum
beriman secara ontologis cenderung kepada pewahyuan, bahwa hal ini merupakan
suatu struktur ontolog dalam Dasein dimana didalamnya setiap being ditujukan pada dirinya sendiri.
Struktur ontologis mengungkapkan kondisi kemungkinan ada yang dituntut oleh
Sabda bahwa Bapa berbicara kepada manusia. Heidegger telah memberi sebuah
bacaaan Yunani kuno bahwa hal tersebut tidak mungkin dinyakini karena bukan
hasil dari pemindahan kategori kristianitas kepada teks-teks Yunani kuno. Ia
menyebutnya sebagai setengah-tema kenabian karena ‘ sebuah permulaan yang lain’
yang mirip sebagai metanoia
(pertobatan) dan kedatangan kerjaan, atau kedatangannya yang kedua. Ia memandang
hubungan ada dan pikiran Parmeneides dan Herakleitos dalam tema kerygma untuk membuktikan bahwa filsuf
Yunani kuno mengambil ada untuk dikenakan pada manusia. Heidegger mengatakan
bahwa konsep historisnya yang mendalam tentang ada termasuk dalam konsep eskatologis
dari’sejarah ada’ dan merupakan pemahaman Yunani yang fundamental. Murid-murid
Heidegger yang fanatik mengatakan bahwa ia secara jelas menghelenisasi dan
mensekularisasikan konsep fundamental Kitab Suci tentang sejarah keselamatan.
Tahap
Ketiga: Tulisan-Tulisan Kemudian
Perubahan
mendasar dalam pemikiran Heidegger terjadi dan dengan nuansa religius yang
terbuka. Lengkingan antagonis kekristenan selama bertahun-tahun berganti
menjadi mistik. Heidegger mengatakan kembali ke awal teologi. Ia pada awalnya
tertarik pada mistisime Abad Pertengahan. Hubungan Heidegger pascaperang dengan
teolog, baik itu Katolik maupun Protestan secara dramatis berbalik. Dalam
persidangan denazification dilaksanakan
setelah perang, Heidegger yang terkepung
akhirnya mendapat bantuan dari Uskup Agung Freiburg, Conrard Groben.
Hubungan yang membaik itu tidak
berarti bahwa Heidegger kembali kepada iman masa mudanya. Dimensi mistis dalam
pemikiran kemudian merupakan urusan struktural yang tegas, beberapa masalah proporsionalitas tentang:
‘hubungan dari berpikir untuk menjadi’ secara sruktural seperti hubungan jiwa
dan Tuhan dalam mistisime agama. Berpikir diarahkan ke berada bukan Tuhan. Ada
bukan Tuhan melainkan hal yang terjadi kebenaran ada, datang untuk melewati
sejarah manifestasi ada—dari Yunani awal hingga kehendak untuk berkuasa.
Sejarah dipahami sebagai sejarah kebenaran atau
kenyataan, berbagai macam pandangan bahwa ada berlangsung selama berabad-abad
(seperti eidos dalam Plato, roh dalam Hegel, seperti kehendak berkuasa dalam
postmodern) sebagai lawan dari sejarah politik, militer, sosial, atau ekonomi.
Sejarah bukan sejarah manusia, tetapi sejarah ada terungkap di bawah inisiatif
dari keberadaan sudah memberi kepada dan penarikan dari pikiran.
Status
Allah,dalam Heidegger kemudian lebih religius, pemikiran mistis banyak diperdebatkan.
Heidegger tidak berbicara mengenai Tuhan, tetapi Allah dari sudut pandangn
Yahudi-Kristen, telah kehilangan kekuasaan berdaulat atas sejarah dan menjadi
fungsi dari sejarah ada itu. Heidegger pada titik mengidentifikasi usia (waktu)
yang hilang dari Roh Kudus sebagai waktu dari agama orang Yunani, Perjanjian
Lama, dan pemberitaan tentang Yesus menunjukkan semacam ahistorisisme tentang
berbagai cara bahwa Roh Kudus dapat memanifestasikan dirinya dan mengambil
pelbagai bentuk dalam sejarah, tidak ada yang mutlak. Namun, Heidegger
menunjukkan preferensi dalam
tulisan-tulisan dalam dunia orang Yunani, karena pengalaman akan yang
ada sebagai fisis dan aletheia dan untuk pengalaman dari dewa sebagai bagian
dari empat lapisan, yaitu bumi dan langit, manusia dan dewa. Ini merupakan
konsep Holderlinian yang mendalam yang diambilnya dari puisi Holderlin dari
dunia Yunani. Dewa yang muncul dalam tulisan Heidegger adalah dewa yang sangat
puitis. Pengalaman puitis dunia sebagai sesuatu yang suci dan layak mendapatkan
penghormatan
Para
teolog kristiani member perhatian tentang tulissan-tulisan Heidegger. Kemudian
muncul gelombang yang menaruh perhatian pada karya Heidegger dengan sikap reflektif.
Teologi ini telah mengapresiasi kesejarahan daalam pandangan Heidegger mengenai
”Being” dan berkaitan dengan apa yang
mereka lakukan untuk menunjang karya teologi. Ada pula pandangan Heidegger yang
ditolak mengenai Humanisme dengan alasan akan memunculkan kemungkinan baru akan
teologi. Hasil dari “thinking”bagi
teologi berhenti pada Allah sebagai Causa
Sui, sebagai penyebab yang menciptakan dan menyokong kosmos dan malahan
Allah berhadapan dengan seorang yang bisa menari atau menekuk lututnya.
Panggilan ini sungguh ‘divine God’ dan mengingatkan kita akan perintah Pascal
yang menyesampingkan Allah filsuf di dalam kebaikan Allah Abraham dan Ishak.
Ini membuka perumusan akhir dari thinking
dalam hubungan dengan iman religius. Heidegger mengungkapkan tanda-tanda sebuah
zaman baru dari yang Kudus, suatu zaman dimana Allah sungguh-sungguh menjadi
Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar