LOCUS THEOLOGICUS
Macam
teologi yang mendukung perkembangan perayaan pewartaan dalam gereja di jaman
sekarang ini yaitu teologi liturgi. Liturgi (sama dengan ibadah atau sembah kepada Allah)
mengacu pada teologi (pemahaman dan penghayatan) akan Allah yang dihayati
oleh suatu gereja. Kritis terhadap liturgi adalah kritis terhadap teologi yang
dianut. Pada gilirannya kontekstualisasi liturgi adalah kontekstualisasi
terhadap teologi dan kehidupan bergereja. Struktur (bangunan) teologi yang
diyakini, akan membentuk bangunan liturgi. Liturgi merupakan bagian yang
penting dalam persekutuan (koinonia) umat.
Persekutuan -–sebagai salah satu dari tritugas gereja– tidak dapat dipisahkan
dari dua aspek lain tritugas gereja, yakni pelayanan (diakonia)
dan kesaksian (marturia). Dalam liturgi kasih Allah dirayakan
(di-selebrasi-kan), baik dalam persekutuan (koinonia)
maupun dalam aksi pelayanan (diakonia). Keduanya menyaksikan
(marturia) kasih Allah pada dunia. Dalam liturgi (dalam perayaan
keselamatan), gereja merayakan perngenangan akan jati dirinya dalam sejarah.
Dalam liturgi, gereja dapat mundur ke belakang, dihubungkan dengan masa lampau.
Dalam liturgi, gereja ikut duduk bersama di antara murid pada malam
Perjamuan terakhir, menerima perintah, merasakan solideritas kasih Allah,
merasakan ancaman penderitaan yang akan dijalani Yesus di kayu salib. Dengan
liturgi, masa lalu yang aktif kembali tersebut mendorong gereja untuk bertindak
sekarang dan menuju ke masa depan. Kontekstualisasi liturgi adalah suatu usaha
bagaimana “perayaan-peringatan” keselamatan tersebut dialami dan aktual di sini
dan kini sebagai keselamatan dan rekonsiliasi (pendamaian) antara manusia
dengan Allah, dan antara manusia dengan manusia. Bagaimana ini dipahami.
Liturgi adalah orthodoxia prima, peristiwa
teologis. Esensinya: tindakan teologis (act of theology), tindakan
Gereja sebagai umat beriman yang terarah kepada Allah, berdialog dengan Allah,
menyatakan kepercayaannya akan Allah, melambangkan kepercayaannya melalui ragam
sarana (benda, kata [terutama Kitab Suci dan eukologi], gerak). Teologi ini
tentang bagaimana sarana komunikasi dan interaksi dalam liturgi, khususnya kata
dan simbol, dapat digunakan sebagai sumber generatif bagi pengembangan teologi
sistematik. Artinya, bagaimana konsep dalam teologi sistematik dapat
dieksplorasi secara penuh dari data yang terbentang dalam ritus liturgis (mis.
bagaimana menggambarkan keberadaan Allah [teologi], keberadaan dan karya
penebusan Kristus [kristologis], keberadaan dan karya Roh Kudus [pneumatologis],
Gereja [eklesiologis], menjelaskan dan merefleksikan kebutuhan kita akan rahmat
[antropologi kristiani]). Contoh: penggunaan gelar atau istilah untuk
Kristus atau karya-Nya (penebus-penebusan, kudus-pengudusan, pengampunan,
pendamaian, dst) menjelaskan juga kebutuhan akan Kristus dan menggambarkan
bagaimana penyelamatannya berlangsung dalam liturgi. Di sini disiplin
antropologi kristiani dan kristologi bertemu secara tepat karena keduanya
berasal dari refleksi tentang apa yang terjadi dalam liturgi dan bagaimana
liturgi itu sendiri menjelaskannya. Secara metodologis, liturgi digunakan
sebagai sumber bagi teologi sistematik, dan sebaliknya teologi sistematik
secara intrinsik berkaitan dengan tindakan ibadat itu. Berteologi dari
liturgi mewajibkan suatu pengujian ulang atas sumber konsep dalam teologi
kristiani dan atas cara-cara konsep itu berkembang. Hal ini menyentuh pada
distingsi penting akhir-akhir ini tentang bahasa “simbolis” dan “teknis”.
Bahasa liturgis ditujukan untuk menemui dan menopang misteri-misteri yang
dirayakan.
Menurut perspektif historisnya:
1. Prosper Aquitaine [dalam Indiculus, ca 435-442]:
“ut legem credendi lex statuat supplicandi” (hukum/tata doa mendasari
hukum/tata iman/kepercayaan). Singkatnya lex orandi, lex credendi. Ini
sudah jadi tema yang disukai dalam perbincangan tentang teologi liturgi (liturgical
theology). Sekarang kita jadikan kalimat kunci dan kita udar makna aslinya
untuk dapat memahami kaitan antara liturgi dan teologi. Prosper Aquitaine: Dasar:
Hipolitus [dalam Tradisi Apostolik] dan Tertulianus, Origenes,
Cyprianus, Agustinus: liturgi Gereja melandasi artikulasi iman (lewat aneka
cara: struktur ritual, praktek sakramental, teks doa). Cara Gereja berliturgi
dipengaruhi secara jelas oleh bagaimana Gereja mengungkapkan dan menjelaskan
imannya.
2.
Patristik:
-
Ada beberapa cara untuk merefleksikan hubungan liturgis-teologis dalam
literatur Patristik: [1] tradisi mistagogi: menerangkan makna sakramen
berdasarkan apa yang terjadi dalam tata liturginya; [2] homili tentang pesta
liturgis: memberi pemahaman teologis dan makna pesta dan masa liturgis; [3]
tulisan teologis khusus: berakar pada praktek liturgis (Agustinus: De
baptismo, De peccatorum meritis et remissione et de baptismo). Untuk
memahami otoritas liturgi sebagai locus theologicus perlu mengikuti
prinsip interpretasi: [1] memelajari data tentang ritus dan teks liturgis (baik
yang dari Ritus Timur maupun Barat); [2] memastikan sumbernya; [3] menyelidiki
bagaimana data itu pernah ditafsirkan (dua prinsip ini tetap diperlukan supaya
terhindar dari fundamentalisme tekstual).
- Contoh karya Patristik: [1]
pluriformitas struktur liturgis Ekaristi: ritus pembuka, pewartaan Sabda,
homili, doa permohonan, penghunjukan persembahan, anafora, distribusi komuni
(Ambrosius: De Mysteriis dan De Sacramentis), [2] liturgis
inisiasi dalam katekese mistagogis (Cyrilus dari Yerusalem: liturgi malam
Paskah menjelaskan teologi sakramen inisiasi). Menjelaskan dengan penggunaan
unsur-unsur simbolis yang bercirikan: [a] biblis-teologis (tafsir Kitab Suci),
[b] sistematis (teologi inisiasi hasil komentar atas ritual), [c] etis
(hasilkan hidup baru).
-
Sumber lain adalah latar belakang filosofis neo-Platonik. Ini terlihat dari
penggunaan bahasa dalam katekese liturgisnya (mis. typos, eikon, antitypos,
symbolon). Ide teologisnya bersifat soteriologis. Dapat dipahami dalam dua
arti: (1) penyelesaian karya keselamatan Kristus, dan (2) partisipasi
Gereja dalam setiap karya penebusan. Ini menyarankan bahwa melalui
liturgi Gereja hadir untuk ambil bagian dalam peristiwa penebusan yang sama,
dengan memanfaatkan sarana-sarana lahiriah [kata, gerak, simbol], agar
peristiwa penebusan yang baru pun dialami. Dalam kacamata neo-Platonik, Ekaristi
dilihat sebagai suatu “salinan” dari realitas “asli” ilahi, kemuliaan Allah.
Tidak sama, tapi tidak mengurangi “kenyataan” bahwa Gereja sedang
berpartisipasi dalam hidup Allah (= realitas simbolik).
-
Dari sudut pandang era Patristik ini tampak bahwa adagium Prosper terkesan kuat
dipengaruhi pandangan bahwa liturgi sangat melandasi teologi, khususnya teologi
sakramen. Adagium Prosper secara jelas mencerminkan pentingnya teologi liturgi
pada seluruh era Patristik.
3.
Abad Pertengahan (teologi moral, spiritual, sistematik, sakramen):
-
Tokoh yang paling representatif adalah Thomas Aquinas. Ia tidak menggunakan
istilah khusus “liturgia” dalam karya-karyanya (karena istilah itu baru
dipakai pada paruh kedua abad 16), tapi ceremonia, cultus, devotio,
minister, ministerium, munus, mysterium, obsequium, officium, offere, religio,
ritus, sacramentum. Bagaimana Thomas memahami liturgi sebagai sumber
teologi? Ia menganggap bahwa liturgi adalah salah satu aucthoritates
Gereja, bukan sebagai suatu locus theologicus. Menurut Thomas ada tiga
macam otoritas: [1] doktrin dan praktek dalam Gereja, [2] tradisi para rasul,
[3] Kitab Suci. Liturgi termasuk otoritas pertama. Di dalamnya iman dan hidup
Gereja dinyatakan.
-
Secara khusus Thomas membahas liturgi ketika bicara tentang kaitan antara
kultus kristiani dengan Trinitas, karya Roh Kudus, misteri Kristus, dan
realitas eklesial dari sakramen. Ia menekankan realitas eklesial sakramen dari
perspektif objektif dan subjektif dalam aktivitas sakramental (fides
ecclesiae, actus ecclesiae, intentio Ecclesiae, ritus ecclesiae). Baginya,
doa Gereja melampaui doa pribadi.
-
Seperti para Bapa Patristik, Thomas juga memberi penjelasan teologis tentang
sakramen, tempat Sabda biblis dalam liturgi sakramental dan peran Kitab Suci
sebagai dasar untuk sakramen. Sejalan dengan Agustinus, Thomas juga menekankan
bahwa Sabda Inkarnatiflah yang memberi daya bagi kata-kata sakramental,
khususnya yang diucapkan oleh imam dalam liturgi (biasanya berkaitan dengan
simbol-simbol sakramental: air, roti, anggur, dsb). Ia meminjam istilah materia
dan forma dari Agustinus untuk melukiskan bahwa unsur simbolis dan Sabda
bersama-sama menjadi suatu sakramen.
-
Sebagai tanda (signum) sakramen mengandung tiga dimensi waktu: (1)
Dulu-komemoratif: Sengsara Kristus, (2) Kini-demonstratif: melalui rahmat
Sengsara Kristus itu dihadirkan kembali di antara kita, (3) Nanti-prognostik:
meramalkan kemuliaan mendatang.
-
Gagasan sulit tentang pelaku (character) sakramental pun mengandung
dimensi liturgis. Pelaku diarahkan untuk ambil bagian dalam kultus (eksterior)
Gereja (relatio ad ecclesiam). Ini mengulangi gagasan bahwa sakramen
Perjanjian Baru mengandung dua maksud: untuk penebusan dosa dan kesempurnaan
rohani. Pelaku sakramental (umat) mengambil bagian dalam imamat Kristus. Ia
membedakan partisipasi aktif dengan pasif. Partisipasi aktif melalui tahbisan (in
persona Christi), sedangkan partisipasi pasif melalui baptis dan krisma.
Gagasan ini memengaruhi praktek liturgis yang lebih menekankan peran para
tertahbis bagi para terbaptis. Orang yang dibaptis masuk dalam martabat imamat
jemaat yang juga untuk memersembahkan bagi Allah kemuliaan Kristus sendiri.
-
Pandangan teologi sakramental Thomas banyak dipengaruhi praktek berliturgi pada
zamannya. Misalnya, dalam teologi Ekaristi (kombinasi dengan teologi imamat:
tindakan dan kata-kata imam mengubah roti dan anggur untuk Komuni [terutama
bagi imam sendiri] dan adorasi), dalam teologi inisiasi (dipengaruhi praktek
baptisan bayi, pemisahan baptis dengan krisma menuntut pandangan teologis baru
tentang sakramen krisma).
- Para teolog
Abad Pertengahan sibuk dengan sistematisasi sakramen yang berdasarkan praktek
ritual saat itu, namun tidak sebanyak yang dilakukan para Bapa Patristik. Namun
praktek-praktek sakramental saat itu tetap berperan penting dalam pemahaman
tentang sakramen pada masa itu. Lex orandi masih ada, namun dipahami
dalam cara berbeda. Ringkasnya, bagi Thomas liturgi merupakan salah satu aucthoritates
bagi teologi, bersamaan dengan Kitab Suci dan filsafat Aritoteles. Pada
gilirannya teologi skolastik ini memengaruhi praktek liturgis yang kurang sehat
untuk ukuran teologi sekarang. Mengapa? Karena liturgi dianggap sebagai ritus
yang disajikan “bagi” umat, bukan “oleh” dan “bersama” umat/komunitas.
Metodologi
dalam teologi liturgi:
-
Otoritas/wibawa liturgi tidak terletak pada teks yang berasal dari kesaksian
apostolik, tapi terletak pada: (1) siapa yang seharusnya didoakan [objek], (2)
rahmat apa yang dibutuhkan untuk yang didoakan [necesitas], (3) muatan teologis
ada dalam doa itu karena seluruh Gereja berdoa untuk kebutuhan itu [legalitas].
Rahmat Allah-lah, bukannya karya manusia yang membawa keselamatan. Maka,
teologinya terpantul dalam doa-doa (mis. Doa umat meriah Jumat Agung tadi), tak
harus teks doa khusus yang digunakan.
-
Liturgi pun memanifestasikan iman Gereja. Apostolisitas liturgi berarti liturgi
adalah suatu sumber teologis seperti yang terdapat dalam Kitab Suci dan suatu
ungkapan doa Gereja. Gaya dan komposisi teks liturgis pun harus bernada puitik,
simbolis, dan lebih bersifat eksistensial ketimbang rasional.
-
Interpretasi atas pandangan Prosper tentang Gereja yang berdoa ini berdasarkan
pada apa yang terjadi dalam peristiwa liturgis Jumat Agung, khususnya pada
jenis doa liturgis. Yang mendasari artikulasi iman Gereja adalah fakta
tentang kegiatan ritual Gereja, tak hanya teks belaka. Pandangan Prosper
ternyata seirama dengan pandangan para Bapa Patristik yang merefleksikan
fleksibilitas dalam ritual liturgis dan dalam menafsirkan ritual itu secara
teologis.
Beberapa alasan
mengapa perlu metode baru untuk teologi liturgi: (a) karena pendekatan teologi
liturgi Trente hingga kini secara hampir eksklusif menekankan teks-teks
liturgis (meskipun Anton Baumstark sudah menekankan bahwa liturgi lebih
daripada sekedar teks dan secara keseluruhan tindakan liturgis perlu ditelaah
secara teologis). Sampai sekarang interpretasi teks memang masih penting.
Namun, kiranya penekanan baru bahwa liturgi sebagai peristiwa bisa menjadi
metode baru dalam teologi liturgi. (b) hakikat pembaruan liturgi Gereja
Katolik dan kristen lain sekarang. Locus pertama untuk artikulasi
pendekatan metodologis bagi teologi liturgi adalah pembaruan liturgi sekarang.
Dan jangan melupakan aspek khusus pembaruan, yakni keragaman dan kelenturan
(fleksibilitas) ritus dan teks dalam struktur ritual dan kebutuhan untuk
inkulturasinya. Tahap pertama keragaman dalam pembaruan itu mengangkut
bagaimana sesungguhnya liturgi itu disiapkan dan dirayakan. Lalu, bagaimana
perayaan liturgi yang diperbarui itu digunakan sebagai sumber untuk teologi
liturgi yang berkembang dari ritus-ritus yang tidak seragam. Maka, perhatian
berpindah melampaui teks yang ada dalam buku-buku tata perayaan menuju bentuk
dan unsur-unsur dari perayaan liturgi aktual, termasuk teks.
-
Maka, teologi liturgi harus berdasar pada data yang ada dalam buku-buku
liturgis yang sudah direvisi (khususnya menyangkut keragaman dan kelenturan
ritus-ritusnya) dan juga berdasar pada penggunaannya dalam perayaan aktual.
Maka liturgi masa lalu itu perlu juga dilacak sumber-sumbernya supaya bisa
menjadi bukti akurat bagi buku-buku tata perayaan liturgis. Diperlukan juga
kerjasama dengan disiplin ilmu lain, khususnya ilmu sosial, untuk mengembangkan
metode teologi liturgi.
- Konteks
liturgis adalah teks (liturgical context is text = konteks
menyediakan sumber/teks untuk mengembangkan teologi liturgi). Konteks artinya
[tiga komponen konteks liturgis]: (a) Evolusi historis dari ritus liturgis
yang ada untuk menentukan asal-usulnya, bagian-bagian unsurnya (teks, simbol,
aksi, tata gerak), dan variasi dalam sejarah baik secara liturgis maupun
teologis. Studi ini bermaksud untuk menyingkap makna-makna teologis yang
terkandung dalam ritus dan juga untuk membedakan aspek-aspek dari ritus itu
mana yang esensial dan mana yang periferial. (b) Pembaruan liturgis
kontemporer mengandaikan adanya pengujian ritus sekarang (yang sudah
diperbarui) untuk menentukan apakah perayaan kontemporer dari ritus itu dalam
konteks khusus mengungkapkan apa yang sesungguhnya diharapkan dalam buku ritus
yang diterbitkan (partisipasi penuh, sadar, aktif). Yang diuji adalah tindakan
liturgis secara keseluruhan, di mana kata-simbol-gerak ditafsir dan dipahami
dalam kaitan satu sama lain. Bagaimana pula setting for liturgy (jemaat,
tempat/lingkungan) dan conducting of liturgy (khotbah, musik, gestur,
sarana partisipasi lain) dapat membantu memahami teks biblis, doa, simbol,
gestur liturgis. (c) Adaptasi liturgis dan kritik teologi liturgi yang
memerhatikan konteks kultural dan teologis dari perayaan liturgi. Pada umumnya,
“konteks adalah text” untuk membetulkan fokus dalam teologi liturgi, dari studi
filologis-teologis atas teks liturgis (sakramentari, pontifikal, dsb) menjadi
pada perbincangan tentang sumber-sumber itu dalam terang perayaannya, baik pada
waktu dulu maupun sekarang. Dari lex orandi-lex credendi, menuju lex
agendi. Lex agendi menjadi fokus juga dalam teologi liturgi. Lex
agendi menjadi locus, sumber untuk berteologi.
- Teks
membentuk konteks (text shapes context = teologi dan spiritualitas yang
berasal dari liturgi, teks adalah data dari investigasi atas teologi liturgi).
Teologi liturgi (text) perlu membentuk teologi dan spiritualitas orang
yang berpartisipasi dalam liturgi (context). Interpretasi teologis atas
unsur konstitutif dalam liturgi (Sabda, simbol, eukologi, seni) mempunyai
implikasi konstitutif bagi hidup Gereja, khususnya untuk refleksi teologis dan
pengembangan spiritualitas lewat liturgi. Antara text dan context ada
relasi dialektis berkelanjutan, di mana setting kultural dan eklesial yang
menjadi tempat liturgi (context) memengaruhi cara kita mengalami
dan menafsirkan liturgi (text).
Kaitan antara teologi liturgi dengan sebuah pewartaan Gereja
Paroki di KAJ (Keuskupan Agung Jakarta), bahwa di jaman sekarang ini teologi liturgi
sangat diperlukan demi perkembangan pelayanan di dalam gereja. Saat ini KAJ
memiliki ±9 Gereja Paroki dan salah satu di antaranya yaitu Gereja Paroki X
yang terletak di Jakarta timur. Pada saat sekarang ini Gereja Paroki X terlihat
sangat berkembang baik dalam pertumbuhan umat maupun dalam perkembangan
geografisnya. Dilihat dari segi pelayanan dan umatnya dalam tata cara perayaan
ekaristi di Gereja Paroki X masih tergantung dengan penggunaan metodologi
teologi liturgi. Dalam Gereja Paroki X tata cara perayaan ekaristi yang
digunakan tergantung kepada Pastor yang memimpin perayaan ekaristi saat itu,
karena dalam waktu tertentu ada Pastor yang masih memakai TPE Lama dan ada juga
yang memakai TPE Baru. Hal itulah yang membuat umat menjadi bingung dengan TPE
yang dipakai dalam Gereja Katolik.
Pengalaman akan teologi liturgi dalam Gereja Paroki X bahwa
umat masih terpaku dengan keadaan liturgi yang dipakai dalam perayaan ekaristi
di paroki. Umat mempunyai cara pandangnya tersendiri dalam melihat tata cara
liturgi yang dipakai, baik dalam TPE lama maupun TPE baru. Ada banyak konsep
yang dapat umat pakai untuk melihat tata cara perayaan ekaristi dalam gereja
yang bergantung pada kebudayaan setempat seperti istilah enkulturasi, akkulturasi, dan inkulturasi.
Pengaruh karena umat tidak memahami makna dan bahasa liturgi. Umat merasa
biasa-biasa saja bahkan bosan dengan TPE Gereja katolik yang sangat monoton
terkhusus dalam hal liturgi yang dipakai. Keterasingan dan ketidakterlibatan
umat dalam liturgi menyebabkan kehausan dan kerinduan umat akan bentuk-bentuk
pengungkapan iman yang lebih mudah, sederhana, dan memuaskan kebutuhan afeksi
mereka. Dan walaupun masih banyak umat yang belum mengerti mengenai apa itu TPE
dan tata cara perayaan ekaristi yang seperti apa yang harus dipakai. Pengalaman
religius umat manusia adalah pengalaman dasar setiap manusia yang marindukan
kebahagiaan sejati yang diyakini ada dan dijamin oleh Yang Ilahi atau Yang
Transenden. Pengalaman kerinduan akan Yang Ilahi ini merupakan pengalaman yang
menyentuh setiap orang di mana pun dan kapan pun. Relasi Gereja Paroki X dengan
teologi liturgi sebagai dasar pengalaman iman umat merupakan pengalaman
religius yang selalu ada dan muncul. Inti pengalaman religius itu selalu sama,
yakni kerinduan akan kebahagian dan kepenuhan hidup yang bersumber dari Yang
Ilahi.
Di sekitar wilayah Gereja Paroki X memiliki data umat 38,29%
umat beragama Katolik dan 61,71% umat beragama Islam. Memang umat beragama
Katolik tidak menjadi yang lebih dominan diantara agama lain. Tapi hal tersebut
tidak menjadi masalah dalam menghidupi pengalaman iman umat dan merasakan kerinduan akan kebahagian dan
kepenuhan hidup yang bersumber dari Yang Ilahi. Karena setiap umat dapat
menjalankan ibadat kepercayaan masing-masing, umat Katolik menjalankan perayaan
ekaristi dengan konsep liturgi yang dipakai dalam ajaran gereja.
BUKU BACAAN
1. Aidan
Kavanagh, On Liturgical Theology, A Pueblo Book, Collegeville, MN: The
Liturgical Press, 1984.
2. Dwight
W. Vogel (ed), Primary Sources of Liturgical Theology, A Pueblo Book,
Collegeville, MN: The Liturgical Press, 2000.
3. Kevin
W. Irwin, Context and Text: Method in Liturgical Theology. A
Pueblo Book, Collegeville, MN: The Liturgical Press, 1994.
4. Martasudjita
E., Pengantar Liturgi: Makna Sejarah dan
Teologi Liturgi. Kanisius: Yogyakarta, 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar