Jumat, 07 Maret 2014

LOCUS THEOLOGICUS

LOCUS THEOLOGICUS
            Macam teologi yang mendukung perkembangan perayaan pewartaan dalam gereja di jaman sekarang ini yaitu teologi liturgi. Liturgi (sama dengan ibadah atau sembah kepada Allah) mengacu  pada teologi (pemahaman dan penghayatan) akan Allah yang dihayati oleh suatu gereja. Kritis terhadap liturgi adalah kritis terhadap teologi yang dianut. Pada gilirannya kontekstualisasi liturgi adalah kontekstualisasi terhadap teologi dan kehidupan bergereja. Struktur (bangunan) teologi yang diyakini, akan membentuk  bangunan liturgi. Liturgi merupakan bagian yang penting dalam persekutuan (koinonia) umat. Persekutuan -–sebagai salah satu dari tritugas gereja– tidak dapat dipisahkan dari dua aspek lain tritugas gereja, yakni pelayanan (diakonia) dan kesaksian (marturia). Dalam liturgi kasih Allah dirayakan (di-selebrasi-kan), baik dalam persekutuan (koinonia) maupun dalam aksi pelayanan (diakonia). Keduanya menyaksikan (marturia) kasih Allah pada dunia. Dalam liturgi (dalam perayaan keselamatan), gereja merayakan perngenangan akan jati dirinya dalam sejarah. Dalam liturgi, gereja dapat mundur ke belakang, dihubungkan dengan masa lampau. Dalam liturgi, gereja ikut duduk bersama  di antara murid pada malam Perjamuan terakhir, menerima perintah, merasakan solideritas kasih Allah, merasakan ancaman penderitaan yang akan dijalani Yesus di kayu salib. Dengan liturgi, masa lalu yang aktif kembali tersebut mendorong gereja untuk bertindak sekarang dan menuju ke masa depan. Kontekstualisasi liturgi adalah suatu usaha bagaimana “perayaan-peringatan” keselamatan tersebut dialami dan aktual di sini dan kini sebagai keselamatan dan rekonsiliasi (pendamaian) antara manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan manusia. Bagaimana ini dipahami.
Liturgi adalah orthodoxia prima, peristiwa teologis. Esensinya: tindakan teologis (act of theology), tindakan Gereja sebagai umat beriman yang terarah kepada Allah, berdialog dengan Allah, menyatakan kepercayaannya akan Allah, melambangkan kepercayaannya melalui ragam sarana (benda, kata [terutama Kitab Suci dan eukologi], gerak). Teologi ini tentang bagaimana sarana komunikasi dan interaksi dalam liturgi, khususnya kata dan simbol, dapat digunakan sebagai sumber generatif bagi pengembangan teologi sistematik. Artinya, bagaimana konsep dalam teologi sistematik dapat dieksplorasi secara penuh dari data yang terbentang dalam ritus liturgis (mis. bagaimana menggambarkan keberadaan Allah [teologi], keberadaan dan karya penebusan Kristus [kristologis], keberadaan dan karya Roh Kudus [pneumatologis], Gereja [eklesiologis], menjelaskan dan merefleksikan kebutuhan kita akan rahmat [antropologi kristiani]).  Contoh: penggunaan gelar atau istilah untuk Kristus atau karya-Nya (penebus-penebusan, kudus-pengudusan, pengampunan, pendamaian, dst) menjelaskan juga kebutuhan akan Kristus dan menggambarkan bagaimana penyelamatannya berlangsung dalam liturgi. Di sini disiplin antropologi kristiani dan kristologi bertemu secara tepat karena keduanya berasal dari refleksi tentang apa yang terjadi dalam liturgi dan bagaimana liturgi itu sendiri menjelaskannya. Secara metodologis, liturgi digunakan sebagai sumber bagi teologi sistematik, dan sebaliknya teologi sistematik secara intrinsik berkaitan dengan tindakan ibadat itu. Berteologi dari liturgi mewajibkan suatu pengujian ulang atas sumber konsep dalam teologi kristiani dan atas cara-cara konsep itu berkembang. Hal ini menyentuh pada distingsi penting akhir-akhir ini tentang bahasa “simbolis” dan “teknis”. Bahasa liturgis ditujukan untuk menemui dan menopang misteri-misteri yang dirayakan.
Menurut perspektif historisnya:
1. Prosper Aquitaine [dalam Indiculus, ca 435-442]: “ut legem credendi lex statuat supplicandi” (hukum/tata doa mendasari hukum/tata iman/kepercayaan). Singkatnya lex orandi, lex credendi. Ini sudah jadi tema yang disukai dalam perbincangan tentang teologi liturgi (liturgical theology). Sekarang kita jadikan kalimat kunci dan kita udar makna aslinya untuk dapat memahami kaitan antara liturgi dan teologi. Prosper Aquitaine: Dasar: Hipolitus [dalam Tradisi Apostolik] dan Tertulianus, Origenes, Cyprianus, Agustinus: liturgi Gereja melandasi artikulasi iman (lewat aneka cara: struktur ritual, praktek sakramental, teks doa). Cara Gereja berliturgi dipengaruhi secara jelas oleh bagaimana Gereja mengungkapkan dan menjelaskan imannya.
2.      Patristik:
-          Ada beberapa cara untuk merefleksikan hubungan liturgis-teologis dalam literatur Patristik: [1] tradisi mistagogi: menerangkan makna sakramen berdasarkan apa yang terjadi dalam tata liturginya; [2] homili tentang pesta liturgis: memberi pemahaman teologis dan makna pesta dan masa liturgis; [3] tulisan teologis khusus: berakar pada praktek liturgis (Agustinus: De baptismo, De peccatorum meritis et remissione et de baptismo). Untuk memahami otoritas liturgi sebagai locus theologicus perlu mengikuti prinsip interpretasi: [1] memelajari data tentang ritus dan teks liturgis (baik yang dari Ritus Timur maupun Barat); [2] memastikan sumbernya; [3] menyelidiki bagaimana data itu pernah ditafsirkan (dua prinsip ini tetap diperlukan supaya terhindar dari fundamentalisme tekstual).
-          Contoh karya Patristik: [1] pluriformitas struktur liturgis Ekaristi: ritus pembuka, pewartaan Sabda, homili, doa permohonan, penghunjukan persembahan, anafora, distribusi komuni (Ambrosius: De Mysteriis dan De Sacramentis), [2] liturgis inisiasi dalam katekese mistagogis (Cyrilus dari Yerusalem: liturgi malam Paskah menjelaskan teologi sakramen inisiasi). Menjelaskan dengan penggunaan unsur-unsur simbolis yang bercirikan: [a] biblis-teologis (tafsir Kitab Suci), [b] sistematis (teologi inisiasi hasil komentar atas ritual), [c] etis (hasilkan hidup baru).
-          Sumber lain adalah latar belakang filosofis neo-Platonik. Ini terlihat dari penggunaan bahasa dalam katekese liturgisnya (mis. typos, eikon, antitypos, symbolon). Ide teologisnya bersifat soteriologis. Dapat dipahami dalam dua arti: (1)  penyelesaian karya keselamatan Kristus, dan (2) partisipasi Gereja dalam setiap karya penebusan.  Ini menyarankan bahwa melalui liturgi Gereja hadir untuk ambil bagian dalam peristiwa penebusan yang sama, dengan memanfaatkan sarana-sarana lahiriah [kata, gerak, simbol], agar peristiwa penebusan yang baru pun dialami. Dalam kacamata neo-Platonik, Ekaristi dilihat sebagai suatu “salinan” dari realitas “asli” ilahi, kemuliaan Allah. Tidak sama, tapi tidak mengurangi “kenyataan” bahwa Gereja sedang berpartisipasi dalam hidup Allah (= realitas simbolik).
-          Dari sudut pandang era Patristik ini tampak bahwa adagium Prosper terkesan kuat dipengaruhi pandangan bahwa liturgi sangat melandasi teologi, khususnya teologi sakramen. Adagium Prosper secara jelas mencerminkan pentingnya teologi liturgi pada seluruh era Patristik.
3.      Abad Pertengahan (teologi moral, spiritual, sistematik, sakramen):
-          Tokoh yang paling representatif adalah Thomas Aquinas. Ia tidak menggunakan istilah khusus “liturgia” dalam karya-karyanya (karena istilah itu baru dipakai pada paruh kedua abad 16), tapi ceremonia, cultus, devotio, minister, ministerium, munus, mysterium, obsequium, officium, offere, religio, ritus, sacramentum. Bagaimana Thomas memahami liturgi sebagai sumber teologi? Ia menganggap bahwa liturgi adalah salah satu aucthoritates Gereja, bukan sebagai suatu locus theologicus. Menurut Thomas ada tiga macam otoritas: [1] doktrin dan praktek dalam Gereja, [2] tradisi para rasul, [3] Kitab Suci. Liturgi termasuk otoritas pertama. Di dalamnya iman dan hidup Gereja dinyatakan.
-          Secara khusus Thomas membahas liturgi ketika bicara tentang kaitan antara kultus kristiani dengan Trinitas, karya Roh Kudus, misteri Kristus, dan realitas eklesial dari sakramen. Ia menekankan realitas eklesial sakramen dari perspektif objektif dan subjektif dalam aktivitas sakramental (fides ecclesiae, actus ecclesiae, intentio Ecclesiae, ritus ecclesiae). Baginya, doa Gereja melampaui doa pribadi.
-          Seperti para Bapa Patristik, Thomas juga memberi penjelasan teologis tentang sakramen, tempat Sabda biblis dalam liturgi sakramental dan peran Kitab Suci sebagai dasar untuk sakramen. Sejalan dengan Agustinus, Thomas juga menekankan bahwa Sabda Inkarnatiflah yang memberi daya bagi kata-kata sakramental, khususnya yang diucapkan oleh imam dalam liturgi (biasanya berkaitan dengan simbol-simbol sakramental: air, roti, anggur, dsb). Ia meminjam istilah materia dan forma dari Agustinus untuk melukiskan bahwa unsur simbolis dan Sabda bersama-sama menjadi suatu sakramen.
-          Sebagai tanda (signum) sakramen mengandung tiga dimensi waktu: (1) Dulu-komemoratif: Sengsara Kristus, (2) Kini-demonstratif: melalui rahmat Sengsara Kristus itu dihadirkan kembali di antara kita, (3) Nanti-prognostik: meramalkan kemuliaan mendatang. 
-          Gagasan sulit tentang pelaku (character) sakramental pun mengandung dimensi liturgis. Pelaku diarahkan untuk ambil bagian dalam kultus (eksterior) Gereja (relatio ad ecclesiam). Ini mengulangi gagasan bahwa sakramen Perjanjian Baru mengandung dua maksud: untuk penebusan dosa dan kesempurnaan rohani. Pelaku sakramental (umat) mengambil bagian dalam imamat Kristus. Ia membedakan partisipasi aktif dengan pasif. Partisipasi aktif melalui tahbisan (in persona Christi), sedangkan partisipasi pasif melalui baptis dan krisma. Gagasan ini memengaruhi praktek liturgis yang lebih menekankan peran para tertahbis bagi para terbaptis. Orang yang dibaptis masuk dalam martabat imamat jemaat yang juga untuk memersembahkan bagi Allah kemuliaan Kristus sendiri.
-          Pandangan teologi sakramental Thomas banyak dipengaruhi praktek berliturgi pada zamannya. Misalnya, dalam teologi Ekaristi (kombinasi dengan teologi imamat: tindakan dan kata-kata imam mengubah roti dan anggur untuk Komuni [terutama bagi imam sendiri] dan adorasi), dalam teologi inisiasi (dipengaruhi praktek baptisan bayi, pemisahan baptis dengan krisma menuntut pandangan teologis baru tentang sakramen krisma).
-           Para teolog Abad Pertengahan sibuk dengan sistematisasi sakramen yang berdasarkan praktek ritual saat itu, namun tidak sebanyak yang dilakukan para Bapa Patristik. Namun praktek-praktek sakramental saat itu tetap berperan penting dalam pemahaman tentang sakramen pada masa itu. Lex orandi masih ada, namun dipahami dalam cara berbeda. Ringkasnya, bagi Thomas liturgi merupakan salah satu aucthoritates bagi teologi, bersamaan dengan Kitab Suci dan filsafat Aritoteles. Pada gilirannya teologi skolastik ini memengaruhi praktek liturgis yang kurang sehat untuk ukuran teologi sekarang. Mengapa? Karena liturgi dianggap sebagai ritus yang disajikan “bagi” umat, bukan “oleh”  dan “bersama” umat/komunitas.

Metodologi dalam teologi liturgi:
-          Otoritas/wibawa liturgi tidak terletak pada teks yang berasal dari kesaksian apostolik, tapi terletak pada: (1) siapa yang seharusnya didoakan [objek], (2) rahmat apa yang dibutuhkan untuk yang didoakan [necesitas], (3) muatan teologis ada dalam doa itu karena seluruh Gereja berdoa untuk kebutuhan itu [legalitas]. Rahmat Allah-lah, bukannya karya manusia yang membawa keselamatan. Maka, teologinya terpantul dalam doa-doa (mis. Doa umat meriah Jumat Agung tadi), tak harus teks doa khusus yang digunakan.
-          Liturgi pun memanifestasikan iman Gereja. Apostolisitas liturgi berarti liturgi adalah suatu sumber teologis seperti yang terdapat dalam Kitab Suci dan suatu ungkapan doa Gereja. Gaya dan komposisi teks liturgis pun harus bernada puitik, simbolis, dan lebih bersifat eksistensial ketimbang rasional.
-          Interpretasi atas pandangan Prosper tentang Gereja yang berdoa ini berdasarkan pada apa yang terjadi dalam peristiwa liturgis Jumat Agung, khususnya pada jenis doa liturgis. Yang mendasari artikulasi iman Gereja  adalah fakta tentang kegiatan ritual Gereja, tak hanya teks belaka. Pandangan Prosper ternyata seirama dengan pandangan para Bapa Patristik yang merefleksikan fleksibilitas dalam ritual liturgis dan dalam menafsirkan ritual itu secara teologis. Beberapa alasan mengapa perlu metode baru untuk teologi liturgi: (a) karena pendekatan teologi liturgi Trente hingga kini secara hampir eksklusif menekankan teks-teks liturgis (meskipun Anton Baumstark sudah menekankan bahwa liturgi lebih daripada sekedar teks dan secara keseluruhan tindakan liturgis perlu ditelaah secara teologis). Sampai sekarang interpretasi teks memang masih penting. Namun, kiranya penekanan baru bahwa liturgi sebagai peristiwa bisa menjadi metode baru dalam teologi liturgi.  (b) hakikat pembaruan liturgi Gereja Katolik dan kristen lain sekarang. Locus pertama untuk artikulasi pendekatan metodologis bagi teologi liturgi adalah pembaruan liturgi sekarang. Dan jangan melupakan aspek khusus pembaruan, yakni keragaman dan kelenturan (fleksibilitas) ritus dan teks dalam struktur ritual dan kebutuhan untuk inkulturasinya. Tahap pertama keragaman dalam pembaruan itu mengangkut bagaimana sesungguhnya liturgi itu disiapkan dan dirayakan. Lalu, bagaimana perayaan liturgi yang diperbarui itu digunakan sebagai sumber untuk teologi liturgi yang berkembang dari ritus-ritus yang tidak seragam. Maka, perhatian berpindah melampaui teks yang ada dalam buku-buku tata perayaan menuju bentuk dan unsur-unsur dari perayaan liturgi aktual, termasuk teks.
-          Maka, teologi liturgi harus berdasar pada data yang ada dalam buku-buku liturgis yang sudah direvisi (khususnya menyangkut keragaman dan kelenturan ritus-ritusnya) dan juga berdasar pada penggunaannya dalam perayaan aktual. Maka liturgi masa lalu itu perlu juga dilacak sumber-sumbernya supaya bisa menjadi bukti akurat bagi buku-buku tata perayaan liturgis. Diperlukan juga kerjasama dengan disiplin ilmu lain, khususnya ilmu sosial, untuk mengembangkan metode teologi liturgi.
-          Konteks liturgis adalah teks (liturgical context is text = konteks menyediakan sumber/teks untuk mengembangkan teologi liturgi). Konteks artinya [tiga komponen konteks liturgis]: (a) Evolusi historis dari ritus liturgis yang ada untuk menentukan asal-usulnya, bagian-bagian unsurnya (teks, simbol, aksi, tata gerak), dan variasi dalam sejarah baik secara liturgis maupun teologis. Studi ini bermaksud untuk menyingkap makna-makna teologis yang terkandung dalam ritus dan juga untuk membedakan aspek-aspek dari ritus itu mana yang esensial dan mana yang periferial. (b) Pembaruan liturgis kontemporer mengandaikan adanya pengujian ritus sekarang (yang sudah diperbarui) untuk menentukan apakah perayaan kontemporer dari ritus itu dalam konteks khusus mengungkapkan apa yang sesungguhnya diharapkan dalam buku ritus yang diterbitkan (partisipasi penuh, sadar, aktif). Yang diuji adalah tindakan liturgis secara keseluruhan, di mana kata-simbol-gerak ditafsir dan dipahami dalam kaitan satu sama lain. Bagaimana pula setting for liturgy (jemaat, tempat/lingkungan) dan conducting of liturgy (khotbah, musik, gestur, sarana partisipasi lain) dapat membantu memahami teks biblis, doa, simbol, gestur liturgis. (c) Adaptasi liturgis dan kritik teologi liturgi yang memerhatikan konteks kultural dan teologis dari perayaan liturgi. Pada umumnya, “konteks adalah text” untuk membetulkan fokus dalam teologi liturgi, dari studi filologis-teologis atas teks liturgis (sakramentari, pontifikal, dsb) menjadi pada perbincangan tentang sumber-sumber itu dalam terang perayaannya, baik pada waktu dulu maupun sekarang. Dari lex orandi-lex credendi, menuju lex agendi. Lex agendi menjadi fokus juga dalam teologi liturgi. Lex agendi menjadi locus, sumber untuk berteologi.
-          Teks membentuk konteks (text shapes context = teologi dan spiritualitas yang berasal dari liturgi, teks adalah data dari investigasi atas teologi liturgi). Teologi liturgi (text) perlu membentuk teologi dan spiritualitas orang yang berpartisipasi dalam liturgi (context). Interpretasi teologis atas unsur konstitutif dalam liturgi (Sabda, simbol, eukologi, seni) mempunyai implikasi konstitutif bagi hidup Gereja, khususnya untuk refleksi teologis dan pengembangan spiritualitas lewat liturgi. Antara text dan context ada relasi dialektis berkelanjutan, di mana setting kultural dan eklesial yang menjadi tempat liturgi (context) memengaruhi cara kita mengalami  dan menafsirkan liturgi (text).

Kaitan antara teologi liturgi dengan sebuah pewartaan Gereja Paroki di KAJ (Keuskupan Agung Jakarta), bahwa di jaman sekarang ini teologi liturgi sangat diperlukan demi perkembangan pelayanan di dalam gereja. Saat ini KAJ memiliki ±9 Gereja Paroki dan salah satu di antaranya yaitu Gereja Paroki X yang terletak di Jakarta timur. Pada saat sekarang ini Gereja Paroki X terlihat sangat berkembang baik dalam pertumbuhan umat maupun dalam perkembangan geografisnya. Dilihat dari segi pelayanan dan umatnya dalam tata cara perayaan ekaristi di Gereja Paroki X masih tergantung dengan penggunaan metodologi teologi liturgi. Dalam Gereja Paroki X tata cara perayaan ekaristi yang digunakan tergantung kepada Pastor yang memimpin perayaan ekaristi saat itu, karena dalam waktu tertentu ada Pastor yang masih memakai TPE Lama dan ada juga yang memakai TPE Baru. Hal itulah yang membuat umat menjadi bingung dengan TPE yang dipakai dalam Gereja Katolik.
Pengalaman akan teologi liturgi dalam Gereja Paroki X bahwa umat masih terpaku dengan keadaan liturgi yang dipakai dalam perayaan ekaristi di paroki. Umat mempunyai cara pandangnya tersendiri dalam melihat tata cara liturgi yang dipakai, baik dalam TPE lama maupun TPE baru. Ada banyak konsep yang dapat umat pakai untuk melihat tata cara perayaan ekaristi dalam gereja yang bergantung pada kebudayaan setempat seperti istilah enkulturasi, akkulturasi, dan inkulturasi. Pengaruh karena umat tidak memahami makna dan bahasa liturgi. Umat merasa biasa-biasa saja bahkan bosan dengan TPE Gereja katolik yang sangat monoton terkhusus dalam hal liturgi yang dipakai. Keterasingan dan ketidakterlibatan umat dalam liturgi menyebabkan kehausan dan kerinduan umat akan bentuk-bentuk pengungkapan iman yang lebih mudah, sederhana, dan memuaskan kebutuhan afeksi mereka. Dan walaupun masih banyak umat yang belum mengerti mengenai apa itu TPE dan tata cara perayaan ekaristi yang seperti apa yang harus dipakai. Pengalaman religius umat manusia adalah pengalaman dasar setiap manusia yang marindukan kebahagiaan sejati yang diyakini ada dan dijamin oleh Yang Ilahi atau Yang Transenden. Pengalaman kerinduan akan Yang Ilahi ini merupakan pengalaman yang menyentuh setiap orang di mana pun dan kapan pun. Relasi Gereja Paroki X dengan teologi liturgi sebagai dasar pengalaman iman umat merupakan pengalaman religius yang selalu ada dan muncul. Inti pengalaman religius itu selalu sama, yakni kerinduan akan kebahagian dan kepenuhan hidup yang bersumber dari Yang Ilahi.
Di sekitar wilayah Gereja Paroki X memiliki data umat 38,29% umat beragama Katolik dan 61,71% umat beragama Islam. Memang umat beragama Katolik tidak menjadi yang lebih dominan diantara agama lain. Tapi hal tersebut tidak menjadi masalah dalam menghidupi pengalaman iman umat  dan merasakan kerinduan akan kebahagian dan kepenuhan hidup yang bersumber dari Yang Ilahi. Karena setiap umat dapat menjalankan ibadat kepercayaan masing-masing, umat Katolik menjalankan perayaan ekaristi dengan konsep liturgi yang dipakai dalam ajaran gereja.

BUKU BACAAN
1.      Aidan Kavanagh, On Liturgical Theology, A Pueblo Book, Collegeville, MN: The Liturgical Press, 1984.
2.      Dwight W. Vogel (ed), Primary Sources of Liturgical Theology, A Pueblo Book, Collegeville, MN: The Liturgical Press, 2000.
3.      Kevin W. Irwin,  Context and Text: Method in Liturgical Theology. A Pueblo Book, Collegeville, MN: The Liturgical Press, 1994.

4.         Martasudjita E., Pengantar Liturgi: Makna Sejarah dan Teologi Liturgi. Kanisius: Yogyakarta, 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar