Jumat, 07 Maret 2014

ISLAM DAN NEGARA


Christian Budi Setiawan
STF Driyarkara
Nostra Aetate

ISLAM DAN NEGARA
Pengantar
Salah satu persoalan yang hingga kini belum selesai bagi sebagian komunitas Muslim adalah hubungan antara Islam dan negara. Sudah banyak pandangan mengenai hal ini, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim, Katolik misalnya; pola hubungan tradisionalis, sekularis, dan reformis. Secara khusus, dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi hangat dibicarakan, terutama berkaitan dengan fenomena-fenomena agama dan politik yang muncul di masyarakat. Misalnya, dengan munculnya partai politik dan juga ormas yang membawa bendera agama, munculnya kerusuhan-kerusuhan sosial yang membongkar hubungan agama, politik dan negara.
            Sebagai contoh, adalah diberlakukannya syariat Islam di Aceh, dan tuntutan masyarakat Sulawesi Selatan untuk diberlakukan hal yang sama. Ini berarti bahwa jika ada provinsi lain yang berbasis agamanya kuat, seperti Bali, NTT, dan Papua menuntut diberlakukannya syariat agama di sana, maka pemerintahan harus berlaku adil terhadap mereka. Agama menjadi bagian tak terpisahkan dari negara. Hubungan yang menempatkan agama sebagai kontrol sosial barangkali akan lebih bermanfaat bagi bangsa ini.Dengan menempatkan agama sebagai kontrol sosial, sekaligus menempatkan agama sebagai kritik atas dirinya sendiri sehingga agama tidak menjadi tirani.
Yang hendak ditulis di dalam makalah ini adalah “bagaimana agama memberikan sumbangan pada praktek bernegara”, “bentuk sumbangan seperti apa yang dapat diharapkan dari agama kepada politik dan negara”, “bagaimana agama mempengaruhi agama”.




PERSPEKTIF ISLAM
Arti Agama dalam Negara
Apakah dan bagaimanakah ideologi seorang Muslim itu? Amat luas dan panjang keterangannya kalau mau direntang panjang. Tetapi dapat disimpulkan dalam satu kalimat al-Quran yang maksudnya:“Tidak Aku jadikan Jin dan Manusia itu, hanyalah untuk mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyaat:56)
Jadi seorang Muslim hidup di atas dunia ini sepenuhnya dengan cita-cita hendak menjadi seorang hamba Allah dalam arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan di dunia dan kemengan di akhirat.Dunia dan akhirat ini, sekali-kali tidak mungkin dipisahkan oleh seorang Muslim dari ideologinya.Untuk mencapai tingkatan yang mulia itu, Tuhan memberi kita bermacam-macam aturan. Aturan atau cara kita harus berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita, dan aturan cara kita harus berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan mu’amalah sesama makhluk itu, ada diberikan garis-garis besarnya berupa kaidah yang berkenan dengan hak dan kewajiban seorang terhadap masyarakat dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seorang yang terakhir ini tidak lebih tak kurang ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan itu.
Tetapi yang sering orang lupakan, jikalau membicarakan urusan Agama dan Negara ialah, dalam pengertian Islam yang dinamakan agama itu, bukanlah semata-mata yang disebut peribadatan dalam istilah sehari-hari itu saja, seperti shalat dan puasa itu, tetapi yang dinamakan agama menurut pengertian Islam meliputi semua kaidah-kaidah, hudud-hudud dalam mu’amalah dalam masyarakat menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh Islam itu.Semua aturan-aturan itu dalam garis besarnya terhimpun dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, tetapi al-Quran dan Sunnah Nabi itu tidak dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan hidup, berupa kekuasaan dalam negara, sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah SAW kepada kaum Muslimin, “Sesungguhnya Allah memegang dengan kekuasaan Penguasa, yang tidak dapat dipelihara dan dipegangn oleh al-Quran itu.” (HR. Ibnu Katsir)
Seperti buku undang-undang lainnya, al-Quran pun tidak dapat berbuat apapun dengan sendirinya, dan peraturan-peraturannya tidak akan berjalan dengan sendirinya, dengan semata-mata ia diletakkan di atas lemari atau sekalipun dijunjung di atas kepala.Islam tidak menyuruh dan tidak membiarkan orang menyerahkan sesuatu urusan kepada orang yang bukan ahlinya. Maka Islam mengancam akan datang kerusakan dan bala’ bencana, bila suatu urusan telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya itu. “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah saat kerusakannya.” (HR. Bukhari)
Islam tidak menyuruh atau membiarkan pemerintah negeri diserahkan kepada orang-orang yang penuh dengan khurafat, tkhayul dan maksiat. Islam menyuruh kita hati-hati memilih ketua dan pemimpin. “Sesungguhnya tidak ada yang berhak menjadi ketua kamu, melainkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang beriman, yang mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. mereka itu taat kepada perintah-perintah Allah.” (al-Maidah:55)
Pengertian demokrasi dalam Islam memberikan hak kepada rakyat supaya mengeritik, menegur, membetulkan pemerintah yang zalim, kalau tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam memberikan hak kepada rakyat untuk menghilangkan kezaliman itu dengan kekuatan dan kekerasan jika perlu.Bagi kaum Muslimin Negara bukanlah suatu badan tersendiri yang menjadi tujuan. Dan dengan persatuan Agama dengan negara kita maksudkan, bukanlah Agama itu. Negara adalah alat urusan kenegaraan pada pokok dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan. Yang menjadi tujuan ialah: Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan  perikehidupan manusia sendiri, ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak di Alam Baka.
Memang Negara tidak perlu disuruh dirikan lagi oleh Rasulullah Saw. Dengan atau tidak dengan Islam. Negara memang bisa berdiri dan memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam, dimana saja ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat. Hanyalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw ialah beberapa patokan untuk mengatur negara, supaya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun dalam negara itu, untuk keselamatan diri dan masyarakat, untuk kesejahteraan setiap orang dan kesejahteraan umum. Apakah yang menjadi kepala pemerintahan itu harus bergelar khalifah atau tidak, bukanlah urusan yang utama. Gelar khalifah bukan menjadi syarat yang utama. Hanya yang penting asalkan yang menjadi kepala yang diberi kekuasaan itu sebagai ulil amri kaum Muslimin, sanggup bertindak dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan, baik dalam kaidah maupun dalam praktek.
Islam tidak memberikan petunjuk yang langsung dan rinci tentang bagaimana seharusnya umat Islam mengatur urusan negara. Islam cukup meletakkan landasan asasi atau ketentuan-ketentuan dasar yang mengatur perilaku manusia dalam krhidupan dan pergaulan dengan sesamanya. landasan asasi itulah yang yang menjadi pedoaman atau acuan bagi tata kelola pemerintahan menurut Islam.[1]
Ajaran Islam yang dapat dipakai sebagai landasan bagi tata kelola pemerintahan serta pengelolaan hidup masyarakat  itu dirumuskan dalam bentuk tiga prinsip dasar, yaitu prinsip tauhid, prinsip sunatullah, dan prinsip persamaan antar manusia.

Prinsip Tauhid.
Tauhid adalah prinsip dasar Islam yang pertama dan utama bagi tata kelola pemerintahan serta pengelolaan hidup bermasyarakat. Perbedaan keyakinan dasar selalu merupakan penyebab keresahan dalam suatu masyarakat atau negara. oleh karena itu, Islam mengajak manusia untuk menyutujui suatu keyakinan dasar sebagai asa tunggal bagi kehidupan bersama. Keyakinan dasar yang ditawarkan Islam itu adalah Tauhid.
Meskipun kata tauhid tidak dijumpai di dalam Al-Quran, kata ini sangat tepat mengungkapkan isi Al-Quran, yaitu ajaran tentang kemahaesaan tuhan. Bahkan, kata itu juga secara tepat menggambarkan inti ajaran semua nabi dan rasul Tuhan yang telah diutus untuk setiap kelompok manusia di bumi sampai tampilnya Nabi Muhammad SAW yang membawa ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.[2]
Mengapa tauhiddiapandang sebagai prinsip dasar Islam yang utama bagi pengelolaan hidup bermasyarakat? Sebab, tauhid adalah intisari Islam. Dapat dipastikan bahwa tidak ada satu pun perintah atau larangan dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid takkan ada Islam. Tauhid tidak hanya berarti percaya kepada Allah saja, tetapi mencakup pula pengertian yang benar tentang siapa Allah yang kita sembah itu dan bagaimana kita bersikap kepada-Nya serta kepada obyek-obyek selain dia.
Apa Implikasi nyata dari ajaran tauhid dalam kehidupan bermasyarakat? Iman membawa seseorang mengenal jati dirinya dan mengakui kelemahan dirinya. Jika seseorang memiliki iman yang kuat, ia akan menyadari eksistensi dirinya sebagai hamba Allah, yang harus patuh dan taat hanya kepada Nya.Dengan kesadaran tersebut seseorang terhindar dari sifat arogan dan takabur. Tauhid membawa efek pembebasan diri manusia dari belenggu hawa nafsu yang menjadi sumber kesombongan, kecongkakan, dan sifat tiranik. Dengan kata lain, terdapat kolerasi positif antara tauhid dan nilai-nilai pribadi yang positif. seorang yang memiliki iman yang benar akan bersikap kritis, rasional, jujur, dan juga mandiri.
Tujuan lain dari tauhid adalah menyadarkan manusia bahwa pada hakikatnya semua manusia itu sederajat di hadapan Tuhan. Tidak ada perbedaan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya selain takwanya kepada Tuhan. tauhid sesungguhnya tidak hanya merupakan pernyataan keesaan Tuhan, melainkan juga mengandung pengakuan tentang kesatuan dan kesamaan manusia dalam semua hal. Sebagai konsekuensinya, masyarakat Islam yang berlandasakan tauhid tidak akan membenarkan diskriminasi dalam bentuk apapun, baik yang didasarkan atas perbedaan ras, agama, kasta maupun kelas. Masyarakat Islam yang sebenarnya adalah masyarakat yang menjamin kesatuan sempurna di antara para anggotanya dan tidak mengakui adanya perbedaan dalam bentuk apapun.[3]
Implikasi yang paling konkret dari ajaran tauhid dalam kehidupan bermasyarakat adalah terwujudnya pola hubungan antarmanusia dalam semangat egalitarianisme. Ajaran tauhid mendorong timbulnya emansipasi harkat dan martabat manusia yang berlandaskan iman kepada Allah. Setiap manusia mempunyai hak-hak asasi yang harus dihormati, tidak seorang manusiapun yang dibenarkan diingkari hak-hak asasinya, sebagaimana juga tidak seorangpun dari mereka yang dibolehkan mengingkari hak-hak asasi orang lain. Prinsip tauhid mendukung sistem demokrasi, dan menolak sistem totaliter, otoriter, dan tiranik.



Landasan Sunatullah.
Prinsip dasar Islam yang kedua dalam mengelola kehidupan masyarakat adalah prinsip sunatullah, yaitu kepercayaan bahwa alam semesta ini termasuk kehidupan umat manusia, tunduk kepada sunatullah dan sunatullah tersebut tidak pernah dan tidak akan berubah.
Sunatullah adalah undang-undang Tuhan dalam alam semesta, yaitu undang-undan yang teratur dan seimbang, yang tidak berubah dan tidak bertukar. Manusia mampu mengetahui undang-undang ini karena ia dianugerahi pendengaran, pengelihatan, dan perasaan yang dapat ia gunakan untuk melihat sagala keindahan ciptaan Tuhan. Jika hukum itu dipahami dan dijadikan pedoman dalam melaksanakan suatu kegiatan neiscaya kegiatan itu akan berhasil dan membawa kebahagiaan. Pada hakikatnya, sunatullah adalah hukum alam, yaitu hukum-hukum ciptaan Tuhan yang mencakup seluruh alam semesta, termasuk di dalamnya diri manusia sendiri.
Makna sunatullah dapat dipahami dengan baik jika dipahami terlebih dahulu hakikat kada dan kadar dalam Islam. Manusia pada dasarnya memiliki kebebasan dan kemampuan dalam dirinya untuk memilih dan melakukan perbuatan-perbuatannya. Oleh karenanya wajar jika manusia mendapat pahala dan siksa dari Allah SWT berdasarkan kehendak dan perbuatannya itu.
Prinsip sunatullah berkaitan erat dengan ide kebebasan manusia di dalam kehendak dan perbuatan. Ide itu secara tidak langsung mendorong terjadinya perubahan sosial di kalangan umat Islam. Prinsip sunatullah membawa kepada pengakuan adanya pluralisme dalam masyarakat. Karena manusia memiliki kemampuan dan kesanggupan yang berbeda satu sama lain. Ada manusia yang hanya memusatkan seluruh kegiatannya pada satu obyek saja, ada pula yang mengembangkannya pada beberapa obyek. demikian pula dengan bakat dan pembawaan manusia sangat bervariasi. Mengenal hukum alam merupakan dasar bagi manusia supaya ia dapat mencapai tujuannya di dalam hidup.
Kemajemukan atau pluralitas umat manusia merupakan sunatullah atau suatu kenyataan yang telah menjadi kehendak Allah. Prinsip sunatullah jika dikaitkan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat dapat diinterpretasikan bahwa dalam pengelolaan masyarakat atau negara hendaknya diperhatikan watak-watak manusia sesuai dengan fitrah alaminya, dan jangan dipaksakan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia itu. Sunatullah mengingatkan para pemimpin Islam bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang majemuk, yang terdiri dari berbagai suku, bangsa, dan ras, yang memiliki watak dan pembawaan yang sangat beragam. hal ini hendaknya diterima sebagai suatu ketetapan Tuhan yang tidak dapat diubah. Karena itu, setiap langkah kebijakan yang akan ditempuh hendaknya senantiasa memperhitungkan kondisi sosial budaya dari masyarakat yanga dihadapinya.
Landasan Persamaan Antarmanusia
Prinsip persamaan antar manusia dipandang sebagai prinsip dasar Islam yang ketiga bagi pengelolaan hidup bernegara dan bermasyarakat.keesaan Allah dan perwujudan sunatullah di alam ini menuntut adanya persamaan derajat manusia di hadapan Allah SWT dan kepatuhan mereka secara bersama-sama terhadap sunnahnya itu membawa kepada persamaan hak dan kewajiban mereka.
Jika manusia itu seluruhnya sama dan yang membedakan di antara mereka hanyalah takwanya kepada Tuhan. Bahkan umat Islam itu bukan hanya sama, melainkan juga bersaudara satu sama lain dengan hak dan kewajiban yang sama. Semua muslim itu bersaudara dan mereka harus saling mencintai satu sama lain. Tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Karenanya, dapat dikatakan bahwa prinsip persamaan adalah salah satu prinsip kehidupan bermasyarakat yang asasi dalam Islam.
            Prinsip persamaan antar manusia menegaskan bahwa pengelolaan hidup bermasyarakat dalam Islam tidak didasarkan pada ikatan-ikata primordial, seperti keturunan, kesukuan, dan kehormatan golongan. Itulah sebabnya dalam masyarakat Islam tidak di kenal bentuk mayoritas, tidak ada kelas, tidak ada kelompok elite atau borjuis, juga tidak ada kelompok aristrokat.
Berlandaskan tiga prinsip dasar tersebut diharapkan perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat didasari oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, solidaritas yang kuat dan rasa keadilan. Ketiga prinsip itu hendaknya menjadi pegangan umat Islam dalam mengelola pemerintahan, serta dalam mengatur dan membina masyarakat sesuai dengan tuntutan zaman yang senantiasa berubah seiring dengan perkembangan sains dan teknologi.



GEREJA KATOLIK MEMANDANG NEGARA
Negara dalam kaitannya dengan kehidupan agama dan politik merupakan lembaga yang menyelenggarakan dan mengupayakan kesejahteraan para warganya. Misalnya, dalam kehidupan agama para warga, negara bertugas menciptakan  suasana bagi berkembangnya kebebasan beragama, negara harus menghargai hak keagaaman warga dan persekutuan keagamaan, menjamin pendidikan agama dan moral sesuai keyakinan masing-masing dalam kekhasan lembaga pendidikan dimana seoranng dididik.
Sedangkan untuk kehidupan politik, negara wajib menciptakan perangkat peraturan (UU), perangkat kerja (sistem), dan perangkat pemerintahan (pelaksana) yang terarah pada terpupuk dan terwujudnya citaras batin: keadilan, kebebasan jiwa, dan pelayanan bagi kepentingan umum dan memperkuat keyakinan-keyakinan dasar sekitar kodrat yang benar dan tujuan dari masyarakat politik, pelaksanaan dan batas-batas wewenang negara.[4]
Tidak semestinya negara mengambil alih atau mengintervensi urusan intern masing-masing agama. Demikian pula jangan dicampur-adukan kebijakan politik dengan kebijakan agama, urusan negara dengna urusan agama, sebab kalau itu terjadi maka agama sebagai pemandu moral bagi kehidupan politik akan kehilangan dayanya. Politisasi (suatu) agama akan sangat membahayakan kebersamaan hidup di negara yang plural dalam hal agama seperti negara kita ini. Dengan kata lain, agama jangan mengabdi atau diabdikan kepada politik, sebaliknya menjadai cahaya.
Agama dalam pandangan Gereja Katolik bukan merupakan dua hal yang harus dipisahkan, melainkan hanya dibedakan. Pembedaan itu perlu, karena masing-masing memiliki asas dan dasarnya sendiri serta bergerak pada tataran yang berbeda. Politik yang baik adalah politik yang bermoral, dan agama menjadi salah satu benteng moral bagi pelaksanaan kehidupan politik yang dijalankan secara etis. Agama dan politik tidak bisa disamakan. Bahwa keduanya melekat pada suatu pribadi yang harus mengahayati atau menjadi pelakunya, itulah tantangan yang harus dijawab agar dia (mereka) sungguh-sungguh mampu membedakan  peran serta posisinya.
Keterlibatan dalam bidang sosial politikmerupakan suatu panggilan mulia orang Katolik demi kesejahteraan umum. Maka dalam keterlibatannya itu orang Katolik wajib memperjuangkan kebenaran dan keadilan, dengan memegang prinsip dasar bahwa keselamatan rakyat itulah hukum yang paling mendasar (solus populi supreme lex).
Keterlibatan orang Katolik dalam tata politik praktis memang dijiwai oleh iman Katolik, namun mereka haus berjuang atas nama pribadi atau kelompok politiknya, atas prakarsa sendiri, dan  dengan tanggung jawab sendiri, bukan atas nama gereja. Tiada seorang pun dapat mengatasnamakan Gereja Katolik dalam langkah politiknya. Para rohaniwan harus mengikuti pelbagai dinamika kehidupan politik sehingga tetap menjadi bagian seluruh gerakan masyarakat, tanpa harus terjun aktif falam organisasi politik.[5] Hal itu dengan amat jelas dikatakan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) dapa Knon 285 paragraf 3: “para klerikus dilarang menerima jabatan-jabatan publik yang membawa serta partisipasi-partisipasi dalam pelaksanaan kuasa sipil”.




Tanggapan Kritis
Islam sangat berbeda dengan agama-agama lain di dunia. Sejak awal berdirinya, Islam selalu bersentuhan dengan masalah kenegaraan, bahkan masalah politik. Islam adalah agama yang terkait erat dengan kenegaraan. Tidak dipungkiri juga bahwa Islam terkait dengan caranya menegakan sesuatu dengan cara yang berbau anarkis. Seperti yang telah saya uraikan di atas, sampai kini belum ada kesepakatan pendapat mengenai sejumlah konsep politik dalam Islam, seperti konsep negara Islam.
Di Indonesia, kehadiran Islam di dalam pentas politik memberikan warna sendiri. Beberapa kasus kekerasan terjadi di Indonesia, baik pertikaian antar ormas Islam dan juga pertikaian Islam dengan agama lain. Belakangan kasus Front Pembela Islam, menuai banyak protes dari banyak kalangan di Indonesia. Dalam perkembangannya sejarah mencatat adanya perpecahan, pertentangan, dan bahkan penumpahan darah dalam tubuh umat Islam. Lain alirannya, lain pula cara pandangnya. Begitu yang terjadi di Indonesia. Umat Islam yang ortodoks dan juga militan, melawan umat Islam yang liberal dan juga agama-agama lain.
Seperti yang saya uraikan, tulisan ini adalah bagaimana saya mengangkat ‘seharusnya yang ditegakkan di Indonesia’ sebagai sikap dasar yang seharusnya di pegang oleh saudara-saudara kaum Muslim dan juga tokoh-tokoh agama yang berkarya di dunia politik tanah air. Sangat bertentangan dengan fakta yang terjadi di Indonesia. Konsep negara Islam sangat bersentuhan dengan permasalahan pluralisme di Indonesia. Pancasila dan juga demokratisasi yang sampai saat ini masih perlu diperjuangkan eksistensinya, di tengah maraknya kasus anarkis yang di lakukan oleh ormas-ormas Islam, secara khusus FPI.
Mengutip refleksi teologi Gus Dur tentang Islam dan Demokrasi: Pertama-tama, komitmen Islam atas manusia adalah diharusknnya umat muslim mengikuti keteladanan sempurna Muhammad sebagai utusan Allah (Rasulullah). Apa inti dari pengutusan Muhammad tersebut? Pertama, penghambaan secara total kepada Allah dan inilah sbenarnya inti penafsiran tunggal atas Islam: kepasrahan. Kedua, manusia yang dalam keadaan bersih (fitrah) pada asalnya, dan karena itu bersih dari dosa asal itu, dalam pandangan Islam, diberi amanah membangun dunia dengan tujuan akhir apa yang oleh al-Quran disebut rahmatan lil ‘alamin (membangun kesejahteraan bagi seluruh alam) dan baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur (negara yang adil makmur dan penuh pengampunan). Bagi Gus Dur, rupa-rupanya, agama apapun sam-sama mengandung misi untuk perbaikan kehidupan umat manusia melalui perubahan struktur masyarakat.
Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan juga semboyan Bhineka Tunggal Ika harus terus kita jaga. Jangan malah dirusak oleh ideologi-ideologi agama yang malah akan merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masing-masing agama tentunya memiliki pandangannya mengenai negara, dan saya yakin semuanya mengajarkan bagaimana negara kita bangun dengan kaidah-kaidah yang positif. Yang membawa kebaikan dan juga demi terciptanya masyarakat yang aman damai dan sejahtera. Seperti yang dikatakan oleh Mgr. Soegija 100% Katolik, 100% Indonesia, juga bisa dipakai oleh agama-agama lain. Misalnya 100% Islam, 100% Indonesia.






Daftar Pustaka:
Mintaredja, SH H.M. Syafaat. Islam dan Politik, Islam dan Negara di Indonesia. Jakarta: PT. Septenarius. 1976.
Mulia, Musdah. Negara Islam. Jakarta:Kata Kita.2010.
Mulkan, Munir A. et all. Agama dan Negara. Yogyakarta: Interfidei. 2002.
Natsir,M. Agama dan Negara, Dalam Perspektif Islam.Jakarta:Media Da’wah. 2001.
Suaedy, Ahmad. Perspektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru Demokratisasi. Jakarta: The Wahid Institute.2009.
Pedoman Gereja Katolik Indonesia. KWI. 1995.
Dokumen Konsili Vatikan II. Gaudium et Spes.


[1]MusdahMulia. Negara Islam. hlm 89
[2]MusdahMulia. Negara Islam. hlm 90
[3]MusdahMulia. Negara Islam. hlm 103
[4]Bdk. GaudiumetSpes, artikel 73, DokumenKonsiliVatikan II, hlm. 562.
[5]Bdk. PedomanGerejaKatolik Indonesia, diterbitkanoleh KWI 1995, hlm. 55.

LOCUS THEOLOGICUS

LOCUS THEOLOGICUS
            Macam teologi yang mendukung perkembangan perayaan pewartaan dalam gereja di jaman sekarang ini yaitu teologi liturgi. Liturgi (sama dengan ibadah atau sembah kepada Allah) mengacu  pada teologi (pemahaman dan penghayatan) akan Allah yang dihayati oleh suatu gereja. Kritis terhadap liturgi adalah kritis terhadap teologi yang dianut. Pada gilirannya kontekstualisasi liturgi adalah kontekstualisasi terhadap teologi dan kehidupan bergereja. Struktur (bangunan) teologi yang diyakini, akan membentuk  bangunan liturgi. Liturgi merupakan bagian yang penting dalam persekutuan (koinonia) umat. Persekutuan -–sebagai salah satu dari tritugas gereja– tidak dapat dipisahkan dari dua aspek lain tritugas gereja, yakni pelayanan (diakonia) dan kesaksian (marturia). Dalam liturgi kasih Allah dirayakan (di-selebrasi-kan), baik dalam persekutuan (koinonia) maupun dalam aksi pelayanan (diakonia). Keduanya menyaksikan (marturia) kasih Allah pada dunia. Dalam liturgi (dalam perayaan keselamatan), gereja merayakan perngenangan akan jati dirinya dalam sejarah. Dalam liturgi, gereja dapat mundur ke belakang, dihubungkan dengan masa lampau. Dalam liturgi, gereja ikut duduk bersama  di antara murid pada malam Perjamuan terakhir, menerima perintah, merasakan solideritas kasih Allah, merasakan ancaman penderitaan yang akan dijalani Yesus di kayu salib. Dengan liturgi, masa lalu yang aktif kembali tersebut mendorong gereja untuk bertindak sekarang dan menuju ke masa depan. Kontekstualisasi liturgi adalah suatu usaha bagaimana “perayaan-peringatan” keselamatan tersebut dialami dan aktual di sini dan kini sebagai keselamatan dan rekonsiliasi (pendamaian) antara manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan manusia. Bagaimana ini dipahami.
Liturgi adalah orthodoxia prima, peristiwa teologis. Esensinya: tindakan teologis (act of theology), tindakan Gereja sebagai umat beriman yang terarah kepada Allah, berdialog dengan Allah, menyatakan kepercayaannya akan Allah, melambangkan kepercayaannya melalui ragam sarana (benda, kata [terutama Kitab Suci dan eukologi], gerak). Teologi ini tentang bagaimana sarana komunikasi dan interaksi dalam liturgi, khususnya kata dan simbol, dapat digunakan sebagai sumber generatif bagi pengembangan teologi sistematik. Artinya, bagaimana konsep dalam teologi sistematik dapat dieksplorasi secara penuh dari data yang terbentang dalam ritus liturgis (mis. bagaimana menggambarkan keberadaan Allah [teologi], keberadaan dan karya penebusan Kristus [kristologis], keberadaan dan karya Roh Kudus [pneumatologis], Gereja [eklesiologis], menjelaskan dan merefleksikan kebutuhan kita akan rahmat [antropologi kristiani]).  Contoh: penggunaan gelar atau istilah untuk Kristus atau karya-Nya (penebus-penebusan, kudus-pengudusan, pengampunan, pendamaian, dst) menjelaskan juga kebutuhan akan Kristus dan menggambarkan bagaimana penyelamatannya berlangsung dalam liturgi. Di sini disiplin antropologi kristiani dan kristologi bertemu secara tepat karena keduanya berasal dari refleksi tentang apa yang terjadi dalam liturgi dan bagaimana liturgi itu sendiri menjelaskannya. Secara metodologis, liturgi digunakan sebagai sumber bagi teologi sistematik, dan sebaliknya teologi sistematik secara intrinsik berkaitan dengan tindakan ibadat itu. Berteologi dari liturgi mewajibkan suatu pengujian ulang atas sumber konsep dalam teologi kristiani dan atas cara-cara konsep itu berkembang. Hal ini menyentuh pada distingsi penting akhir-akhir ini tentang bahasa “simbolis” dan “teknis”. Bahasa liturgis ditujukan untuk menemui dan menopang misteri-misteri yang dirayakan.
Menurut perspektif historisnya:
1. Prosper Aquitaine [dalam Indiculus, ca 435-442]: “ut legem credendi lex statuat supplicandi” (hukum/tata doa mendasari hukum/tata iman/kepercayaan). Singkatnya lex orandi, lex credendi. Ini sudah jadi tema yang disukai dalam perbincangan tentang teologi liturgi (liturgical theology). Sekarang kita jadikan kalimat kunci dan kita udar makna aslinya untuk dapat memahami kaitan antara liturgi dan teologi. Prosper Aquitaine: Dasar: Hipolitus [dalam Tradisi Apostolik] dan Tertulianus, Origenes, Cyprianus, Agustinus: liturgi Gereja melandasi artikulasi iman (lewat aneka cara: struktur ritual, praktek sakramental, teks doa). Cara Gereja berliturgi dipengaruhi secara jelas oleh bagaimana Gereja mengungkapkan dan menjelaskan imannya.
2.      Patristik:
-          Ada beberapa cara untuk merefleksikan hubungan liturgis-teologis dalam literatur Patristik: [1] tradisi mistagogi: menerangkan makna sakramen berdasarkan apa yang terjadi dalam tata liturginya; [2] homili tentang pesta liturgis: memberi pemahaman teologis dan makna pesta dan masa liturgis; [3] tulisan teologis khusus: berakar pada praktek liturgis (Agustinus: De baptismo, De peccatorum meritis et remissione et de baptismo). Untuk memahami otoritas liturgi sebagai locus theologicus perlu mengikuti prinsip interpretasi: [1] memelajari data tentang ritus dan teks liturgis (baik yang dari Ritus Timur maupun Barat); [2] memastikan sumbernya; [3] menyelidiki bagaimana data itu pernah ditafsirkan (dua prinsip ini tetap diperlukan supaya terhindar dari fundamentalisme tekstual).
-          Contoh karya Patristik: [1] pluriformitas struktur liturgis Ekaristi: ritus pembuka, pewartaan Sabda, homili, doa permohonan, penghunjukan persembahan, anafora, distribusi komuni (Ambrosius: De Mysteriis dan De Sacramentis), [2] liturgis inisiasi dalam katekese mistagogis (Cyrilus dari Yerusalem: liturgi malam Paskah menjelaskan teologi sakramen inisiasi). Menjelaskan dengan penggunaan unsur-unsur simbolis yang bercirikan: [a] biblis-teologis (tafsir Kitab Suci), [b] sistematis (teologi inisiasi hasil komentar atas ritual), [c] etis (hasilkan hidup baru).
-          Sumber lain adalah latar belakang filosofis neo-Platonik. Ini terlihat dari penggunaan bahasa dalam katekese liturgisnya (mis. typos, eikon, antitypos, symbolon). Ide teologisnya bersifat soteriologis. Dapat dipahami dalam dua arti: (1)  penyelesaian karya keselamatan Kristus, dan (2) partisipasi Gereja dalam setiap karya penebusan.  Ini menyarankan bahwa melalui liturgi Gereja hadir untuk ambil bagian dalam peristiwa penebusan yang sama, dengan memanfaatkan sarana-sarana lahiriah [kata, gerak, simbol], agar peristiwa penebusan yang baru pun dialami. Dalam kacamata neo-Platonik, Ekaristi dilihat sebagai suatu “salinan” dari realitas “asli” ilahi, kemuliaan Allah. Tidak sama, tapi tidak mengurangi “kenyataan” bahwa Gereja sedang berpartisipasi dalam hidup Allah (= realitas simbolik).
-          Dari sudut pandang era Patristik ini tampak bahwa adagium Prosper terkesan kuat dipengaruhi pandangan bahwa liturgi sangat melandasi teologi, khususnya teologi sakramen. Adagium Prosper secara jelas mencerminkan pentingnya teologi liturgi pada seluruh era Patristik.
3.      Abad Pertengahan (teologi moral, spiritual, sistematik, sakramen):
-          Tokoh yang paling representatif adalah Thomas Aquinas. Ia tidak menggunakan istilah khusus “liturgia” dalam karya-karyanya (karena istilah itu baru dipakai pada paruh kedua abad 16), tapi ceremonia, cultus, devotio, minister, ministerium, munus, mysterium, obsequium, officium, offere, religio, ritus, sacramentum. Bagaimana Thomas memahami liturgi sebagai sumber teologi? Ia menganggap bahwa liturgi adalah salah satu aucthoritates Gereja, bukan sebagai suatu locus theologicus. Menurut Thomas ada tiga macam otoritas: [1] doktrin dan praktek dalam Gereja, [2] tradisi para rasul, [3] Kitab Suci. Liturgi termasuk otoritas pertama. Di dalamnya iman dan hidup Gereja dinyatakan.
-          Secara khusus Thomas membahas liturgi ketika bicara tentang kaitan antara kultus kristiani dengan Trinitas, karya Roh Kudus, misteri Kristus, dan realitas eklesial dari sakramen. Ia menekankan realitas eklesial sakramen dari perspektif objektif dan subjektif dalam aktivitas sakramental (fides ecclesiae, actus ecclesiae, intentio Ecclesiae, ritus ecclesiae). Baginya, doa Gereja melampaui doa pribadi.
-          Seperti para Bapa Patristik, Thomas juga memberi penjelasan teologis tentang sakramen, tempat Sabda biblis dalam liturgi sakramental dan peran Kitab Suci sebagai dasar untuk sakramen. Sejalan dengan Agustinus, Thomas juga menekankan bahwa Sabda Inkarnatiflah yang memberi daya bagi kata-kata sakramental, khususnya yang diucapkan oleh imam dalam liturgi (biasanya berkaitan dengan simbol-simbol sakramental: air, roti, anggur, dsb). Ia meminjam istilah materia dan forma dari Agustinus untuk melukiskan bahwa unsur simbolis dan Sabda bersama-sama menjadi suatu sakramen.
-          Sebagai tanda (signum) sakramen mengandung tiga dimensi waktu: (1) Dulu-komemoratif: Sengsara Kristus, (2) Kini-demonstratif: melalui rahmat Sengsara Kristus itu dihadirkan kembali di antara kita, (3) Nanti-prognostik: meramalkan kemuliaan mendatang. 
-          Gagasan sulit tentang pelaku (character) sakramental pun mengandung dimensi liturgis. Pelaku diarahkan untuk ambil bagian dalam kultus (eksterior) Gereja (relatio ad ecclesiam). Ini mengulangi gagasan bahwa sakramen Perjanjian Baru mengandung dua maksud: untuk penebusan dosa dan kesempurnaan rohani. Pelaku sakramental (umat) mengambil bagian dalam imamat Kristus. Ia membedakan partisipasi aktif dengan pasif. Partisipasi aktif melalui tahbisan (in persona Christi), sedangkan partisipasi pasif melalui baptis dan krisma. Gagasan ini memengaruhi praktek liturgis yang lebih menekankan peran para tertahbis bagi para terbaptis. Orang yang dibaptis masuk dalam martabat imamat jemaat yang juga untuk memersembahkan bagi Allah kemuliaan Kristus sendiri.
-          Pandangan teologi sakramental Thomas banyak dipengaruhi praktek berliturgi pada zamannya. Misalnya, dalam teologi Ekaristi (kombinasi dengan teologi imamat: tindakan dan kata-kata imam mengubah roti dan anggur untuk Komuni [terutama bagi imam sendiri] dan adorasi), dalam teologi inisiasi (dipengaruhi praktek baptisan bayi, pemisahan baptis dengan krisma menuntut pandangan teologis baru tentang sakramen krisma).
-           Para teolog Abad Pertengahan sibuk dengan sistematisasi sakramen yang berdasarkan praktek ritual saat itu, namun tidak sebanyak yang dilakukan para Bapa Patristik. Namun praktek-praktek sakramental saat itu tetap berperan penting dalam pemahaman tentang sakramen pada masa itu. Lex orandi masih ada, namun dipahami dalam cara berbeda. Ringkasnya, bagi Thomas liturgi merupakan salah satu aucthoritates bagi teologi, bersamaan dengan Kitab Suci dan filsafat Aritoteles. Pada gilirannya teologi skolastik ini memengaruhi praktek liturgis yang kurang sehat untuk ukuran teologi sekarang. Mengapa? Karena liturgi dianggap sebagai ritus yang disajikan “bagi” umat, bukan “oleh”  dan “bersama” umat/komunitas.

Metodologi dalam teologi liturgi:
-          Otoritas/wibawa liturgi tidak terletak pada teks yang berasal dari kesaksian apostolik, tapi terletak pada: (1) siapa yang seharusnya didoakan [objek], (2) rahmat apa yang dibutuhkan untuk yang didoakan [necesitas], (3) muatan teologis ada dalam doa itu karena seluruh Gereja berdoa untuk kebutuhan itu [legalitas]. Rahmat Allah-lah, bukannya karya manusia yang membawa keselamatan. Maka, teologinya terpantul dalam doa-doa (mis. Doa umat meriah Jumat Agung tadi), tak harus teks doa khusus yang digunakan.
-          Liturgi pun memanifestasikan iman Gereja. Apostolisitas liturgi berarti liturgi adalah suatu sumber teologis seperti yang terdapat dalam Kitab Suci dan suatu ungkapan doa Gereja. Gaya dan komposisi teks liturgis pun harus bernada puitik, simbolis, dan lebih bersifat eksistensial ketimbang rasional.
-          Interpretasi atas pandangan Prosper tentang Gereja yang berdoa ini berdasarkan pada apa yang terjadi dalam peristiwa liturgis Jumat Agung, khususnya pada jenis doa liturgis. Yang mendasari artikulasi iman Gereja  adalah fakta tentang kegiatan ritual Gereja, tak hanya teks belaka. Pandangan Prosper ternyata seirama dengan pandangan para Bapa Patristik yang merefleksikan fleksibilitas dalam ritual liturgis dan dalam menafsirkan ritual itu secara teologis. Beberapa alasan mengapa perlu metode baru untuk teologi liturgi: (a) karena pendekatan teologi liturgi Trente hingga kini secara hampir eksklusif menekankan teks-teks liturgis (meskipun Anton Baumstark sudah menekankan bahwa liturgi lebih daripada sekedar teks dan secara keseluruhan tindakan liturgis perlu ditelaah secara teologis). Sampai sekarang interpretasi teks memang masih penting. Namun, kiranya penekanan baru bahwa liturgi sebagai peristiwa bisa menjadi metode baru dalam teologi liturgi.  (b) hakikat pembaruan liturgi Gereja Katolik dan kristen lain sekarang. Locus pertama untuk artikulasi pendekatan metodologis bagi teologi liturgi adalah pembaruan liturgi sekarang. Dan jangan melupakan aspek khusus pembaruan, yakni keragaman dan kelenturan (fleksibilitas) ritus dan teks dalam struktur ritual dan kebutuhan untuk inkulturasinya. Tahap pertama keragaman dalam pembaruan itu mengangkut bagaimana sesungguhnya liturgi itu disiapkan dan dirayakan. Lalu, bagaimana perayaan liturgi yang diperbarui itu digunakan sebagai sumber untuk teologi liturgi yang berkembang dari ritus-ritus yang tidak seragam. Maka, perhatian berpindah melampaui teks yang ada dalam buku-buku tata perayaan menuju bentuk dan unsur-unsur dari perayaan liturgi aktual, termasuk teks.
-          Maka, teologi liturgi harus berdasar pada data yang ada dalam buku-buku liturgis yang sudah direvisi (khususnya menyangkut keragaman dan kelenturan ritus-ritusnya) dan juga berdasar pada penggunaannya dalam perayaan aktual. Maka liturgi masa lalu itu perlu juga dilacak sumber-sumbernya supaya bisa menjadi bukti akurat bagi buku-buku tata perayaan liturgis. Diperlukan juga kerjasama dengan disiplin ilmu lain, khususnya ilmu sosial, untuk mengembangkan metode teologi liturgi.
-          Konteks liturgis adalah teks (liturgical context is text = konteks menyediakan sumber/teks untuk mengembangkan teologi liturgi). Konteks artinya [tiga komponen konteks liturgis]: (a) Evolusi historis dari ritus liturgis yang ada untuk menentukan asal-usulnya, bagian-bagian unsurnya (teks, simbol, aksi, tata gerak), dan variasi dalam sejarah baik secara liturgis maupun teologis. Studi ini bermaksud untuk menyingkap makna-makna teologis yang terkandung dalam ritus dan juga untuk membedakan aspek-aspek dari ritus itu mana yang esensial dan mana yang periferial. (b) Pembaruan liturgis kontemporer mengandaikan adanya pengujian ritus sekarang (yang sudah diperbarui) untuk menentukan apakah perayaan kontemporer dari ritus itu dalam konteks khusus mengungkapkan apa yang sesungguhnya diharapkan dalam buku ritus yang diterbitkan (partisipasi penuh, sadar, aktif). Yang diuji adalah tindakan liturgis secara keseluruhan, di mana kata-simbol-gerak ditafsir dan dipahami dalam kaitan satu sama lain. Bagaimana pula setting for liturgy (jemaat, tempat/lingkungan) dan conducting of liturgy (khotbah, musik, gestur, sarana partisipasi lain) dapat membantu memahami teks biblis, doa, simbol, gestur liturgis. (c) Adaptasi liturgis dan kritik teologi liturgi yang memerhatikan konteks kultural dan teologis dari perayaan liturgi. Pada umumnya, “konteks adalah text” untuk membetulkan fokus dalam teologi liturgi, dari studi filologis-teologis atas teks liturgis (sakramentari, pontifikal, dsb) menjadi pada perbincangan tentang sumber-sumber itu dalam terang perayaannya, baik pada waktu dulu maupun sekarang. Dari lex orandi-lex credendi, menuju lex agendi. Lex agendi menjadi fokus juga dalam teologi liturgi. Lex agendi menjadi locus, sumber untuk berteologi.
-          Teks membentuk konteks (text shapes context = teologi dan spiritualitas yang berasal dari liturgi, teks adalah data dari investigasi atas teologi liturgi). Teologi liturgi (text) perlu membentuk teologi dan spiritualitas orang yang berpartisipasi dalam liturgi (context). Interpretasi teologis atas unsur konstitutif dalam liturgi (Sabda, simbol, eukologi, seni) mempunyai implikasi konstitutif bagi hidup Gereja, khususnya untuk refleksi teologis dan pengembangan spiritualitas lewat liturgi. Antara text dan context ada relasi dialektis berkelanjutan, di mana setting kultural dan eklesial yang menjadi tempat liturgi (context) memengaruhi cara kita mengalami  dan menafsirkan liturgi (text).

Kaitan antara teologi liturgi dengan sebuah pewartaan Gereja Paroki di KAJ (Keuskupan Agung Jakarta), bahwa di jaman sekarang ini teologi liturgi sangat diperlukan demi perkembangan pelayanan di dalam gereja. Saat ini KAJ memiliki ±9 Gereja Paroki dan salah satu di antaranya yaitu Gereja Paroki X yang terletak di Jakarta timur. Pada saat sekarang ini Gereja Paroki X terlihat sangat berkembang baik dalam pertumbuhan umat maupun dalam perkembangan geografisnya. Dilihat dari segi pelayanan dan umatnya dalam tata cara perayaan ekaristi di Gereja Paroki X masih tergantung dengan penggunaan metodologi teologi liturgi. Dalam Gereja Paroki X tata cara perayaan ekaristi yang digunakan tergantung kepada Pastor yang memimpin perayaan ekaristi saat itu, karena dalam waktu tertentu ada Pastor yang masih memakai TPE Lama dan ada juga yang memakai TPE Baru. Hal itulah yang membuat umat menjadi bingung dengan TPE yang dipakai dalam Gereja Katolik.
Pengalaman akan teologi liturgi dalam Gereja Paroki X bahwa umat masih terpaku dengan keadaan liturgi yang dipakai dalam perayaan ekaristi di paroki. Umat mempunyai cara pandangnya tersendiri dalam melihat tata cara liturgi yang dipakai, baik dalam TPE lama maupun TPE baru. Ada banyak konsep yang dapat umat pakai untuk melihat tata cara perayaan ekaristi dalam gereja yang bergantung pada kebudayaan setempat seperti istilah enkulturasi, akkulturasi, dan inkulturasi. Pengaruh karena umat tidak memahami makna dan bahasa liturgi. Umat merasa biasa-biasa saja bahkan bosan dengan TPE Gereja katolik yang sangat monoton terkhusus dalam hal liturgi yang dipakai. Keterasingan dan ketidakterlibatan umat dalam liturgi menyebabkan kehausan dan kerinduan umat akan bentuk-bentuk pengungkapan iman yang lebih mudah, sederhana, dan memuaskan kebutuhan afeksi mereka. Dan walaupun masih banyak umat yang belum mengerti mengenai apa itu TPE dan tata cara perayaan ekaristi yang seperti apa yang harus dipakai. Pengalaman religius umat manusia adalah pengalaman dasar setiap manusia yang marindukan kebahagiaan sejati yang diyakini ada dan dijamin oleh Yang Ilahi atau Yang Transenden. Pengalaman kerinduan akan Yang Ilahi ini merupakan pengalaman yang menyentuh setiap orang di mana pun dan kapan pun. Relasi Gereja Paroki X dengan teologi liturgi sebagai dasar pengalaman iman umat merupakan pengalaman religius yang selalu ada dan muncul. Inti pengalaman religius itu selalu sama, yakni kerinduan akan kebahagian dan kepenuhan hidup yang bersumber dari Yang Ilahi.
Di sekitar wilayah Gereja Paroki X memiliki data umat 38,29% umat beragama Katolik dan 61,71% umat beragama Islam. Memang umat beragama Katolik tidak menjadi yang lebih dominan diantara agama lain. Tapi hal tersebut tidak menjadi masalah dalam menghidupi pengalaman iman umat  dan merasakan kerinduan akan kebahagian dan kepenuhan hidup yang bersumber dari Yang Ilahi. Karena setiap umat dapat menjalankan ibadat kepercayaan masing-masing, umat Katolik menjalankan perayaan ekaristi dengan konsep liturgi yang dipakai dalam ajaran gereja.

BUKU BACAAN
1.      Aidan Kavanagh, On Liturgical Theology, A Pueblo Book, Collegeville, MN: The Liturgical Press, 1984.
2.      Dwight W. Vogel (ed), Primary Sources of Liturgical Theology, A Pueblo Book, Collegeville, MN: The Liturgical Press, 2000.
3.      Kevin W. Irwin,  Context and Text: Method in Liturgical Theology. A Pueblo Book, Collegeville, MN: The Liturgical Press, 1994.

4.         Martasudjita E., Pengantar Liturgi: Makna Sejarah dan Teologi Liturgi. Kanisius: Yogyakarta, 1999.