Christian Budi Setiawan
STF Driyarkara
Nostra Aetate
ISLAM DAN NEGARA
Pengantar
Salah satu persoalan yang hingga kini
belum selesai bagi sebagian komunitas Muslim adalah hubungan antara Islam dan
negara. Sudah banyak pandangan mengenai hal ini, baik dari kalangan Muslim
maupun non-Muslim, Katolik misalnya; pola hubungan tradisionalis, sekularis,
dan reformis. Secara khusus, dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi hangat
dibicarakan, terutama berkaitan dengan fenomena-fenomena agama dan politik yang
muncul di masyarakat. Misalnya, dengan munculnya partai politik dan juga ormas
yang membawa bendera agama, munculnya kerusuhan-kerusuhan sosial yang
membongkar hubungan agama, politik dan negara.
Sebagai
contoh, adalah diberlakukannya syariat Islam di Aceh, dan tuntutan masyarakat
Sulawesi Selatan untuk diberlakukan hal yang sama. Ini berarti bahwa jika ada
provinsi lain yang berbasis agamanya kuat, seperti Bali, NTT, dan Papua
menuntut diberlakukannya syariat agama di sana, maka pemerintahan harus berlaku
adil terhadap mereka. Agama menjadi bagian tak terpisahkan dari negara.
Hubungan yang menempatkan agama sebagai kontrol sosial barangkali akan lebih
bermanfaat bagi bangsa ini.Dengan menempatkan agama sebagai kontrol sosial,
sekaligus menempatkan agama sebagai kritik atas dirinya sendiri sehingga agama
tidak menjadi tirani.
Yang hendak ditulis di dalam makalah
ini adalah “bagaimana agama memberikan sumbangan pada praktek bernegara”,
“bentuk sumbangan seperti apa yang dapat diharapkan dari agama kepada politik
dan negara”, “bagaimana agama mempengaruhi agama”.
PERSPEKTIF ISLAM
Arti Agama dalam Negara
Apakah dan bagaimanakah ideologi seorang Muslim itu? Amat luas dan panjang
keterangannya kalau mau direntang panjang. Tetapi dapat disimpulkan dalam satu
kalimat al-Quran yang maksudnya:“Tidak Aku jadikan Jin dan Manusia itu,
hanyalah untuk mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyaat:56)
Jadi seorang Muslim hidup di atas
dunia ini sepenuhnya dengan cita-cita hendak menjadi seorang hamba Allah dalam
arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan di dunia dan kemengan di akhirat.Dunia
dan akhirat ini, sekali-kali tidak mungkin dipisahkan oleh seorang Muslim dari
ideologinya.Untuk mencapai tingkatan yang mulia itu, Tuhan memberi kita
bermacam-macam aturan. Aturan atau cara kita harus berlaku berhubungan dengan
Tuhan yang menjadikan kita, dan aturan cara kita harus berlaku berhubungan
dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan
mu’amalah sesama makhluk itu, ada diberikan garis-garis besarnya berupa kaidah
yang berkenan dengan hak dan kewajiban seorang terhadap masyarakat dan hak
serta kewajiban masyarakat terhadap diri seorang yang terakhir ini tidak lebih
tak kurang ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan itu.
Tetapi yang sering orang lupakan,
jikalau membicarakan urusan Agama dan Negara ialah, dalam pengertian Islam yang
dinamakan agama itu, bukanlah semata-mata yang disebut peribadatan dalam
istilah sehari-hari itu saja, seperti shalat dan puasa itu, tetapi yang dinamakan
agama menurut pengertian Islam meliputi semua kaidah-kaidah, hudud-hudud dalam
mu’amalah dalam masyarakat menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh Islam
itu.Semua aturan-aturan itu dalam garis besarnya terhimpun dalam al-Quran dan
Sunnah Nabi Muhammad SAW, tetapi al-Quran dan Sunnah Nabi itu tidak dapat
berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus
ada suatu kekuatan dalam pergaulan hidup, berupa kekuasaan dalam negara,
sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah SAW kepada kaum Muslimin, “Sesungguhnya
Allah memegang dengan kekuasaan Penguasa, yang tidak dapat dipelihara dan
dipegangn oleh al-Quran itu.” (HR. Ibnu Katsir)
Seperti buku undang-undang lainnya,
al-Quran pun tidak dapat berbuat apapun dengan sendirinya, dan
peraturan-peraturannya tidak akan berjalan dengan sendirinya, dengan
semata-mata ia diletakkan di atas lemari atau sekalipun dijunjung di atas
kepala.Islam tidak menyuruh dan tidak membiarkan orang menyerahkan sesuatu
urusan kepada orang yang bukan ahlinya. Maka Islam mengancam akan datang
kerusakan dan bala’ bencana, bila suatu urusan telah diserahkan kepada orang
yang bukan ahlinya itu. “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang
bukan ahlinya, tunggulah saat kerusakannya.” (HR. Bukhari)
Islam tidak menyuruh atau membiarkan
pemerintah negeri diserahkan kepada orang-orang yang penuh dengan khurafat,
tkhayul dan maksiat. Islam menyuruh kita hati-hati memilih ketua dan pemimpin. “Sesungguhnya
tidak ada yang berhak menjadi ketua kamu, melainkan Allah dan Rasul-Nya dan
mereka yang beriman, yang mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. mereka itu
taat kepada perintah-perintah Allah.” (al-Maidah:55)
Pengertian demokrasi dalam Islam
memberikan hak kepada rakyat supaya mengeritik, menegur, membetulkan pemerintah
yang zalim, kalau tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam memberikan hak
kepada rakyat untuk menghilangkan kezaliman itu dengan kekuatan dan kekerasan
jika perlu.Bagi kaum Muslimin Negara bukanlah suatu badan tersendiri yang
menjadi tujuan. Dan dengan persatuan Agama dengan negara kita maksudkan,
bukanlah Agama itu. Negara adalah alat urusan kenegaraan pada pokok dan pada
dasarnya adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan. Yang menjadi tujuan
ialah: Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan
dengan perikehidupan manusia sendiri,
ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan
dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak di Alam
Baka.
Memang Negara tidak perlu disuruh
dirikan lagi oleh Rasulullah Saw. Dengan atau tidak dengan Islam. Negara memang
bisa berdiri dan memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam, dimana saja
ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat. Hanyalah
yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw ialah beberapa patokan untuk mengatur
negara, supaya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah
yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun dalam
negara itu, untuk keselamatan diri dan masyarakat, untuk kesejahteraan setiap
orang dan kesejahteraan umum. Apakah yang menjadi kepala pemerintahan itu harus
bergelar khalifah atau tidak, bukanlah urusan yang utama. Gelar khalifah bukan
menjadi syarat yang utama. Hanya yang penting asalkan yang menjadi kepala yang
diberi kekuasaan itu sebagai ulil amri kaum Muslimin, sanggup bertindak dan
peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan,
baik dalam kaidah maupun dalam praktek.
Islam tidak memberikan petunjuk yang
langsung dan rinci tentang bagaimana seharusnya umat Islam mengatur urusan
negara. Islam cukup meletakkan landasan asasi atau ketentuan-ketentuan dasar
yang mengatur perilaku manusia dalam krhidupan dan pergaulan dengan sesamanya.
landasan asasi itulah yang yang menjadi pedoaman atau acuan bagi tata kelola
pemerintahan menurut Islam.[1]
Ajaran Islam yang dapat dipakai
sebagai landasan bagi tata kelola pemerintahan serta pengelolaan hidup
masyarakat itu dirumuskan dalam bentuk
tiga prinsip dasar, yaitu prinsip tauhid, prinsip sunatullah, dan
prinsip persamaan antar manusia.
Prinsip Tauhid.
Tauhid adalah prinsip dasar Islam yang
pertama dan utama bagi tata kelola pemerintahan serta pengelolaan hidup
bermasyarakat. Perbedaan keyakinan dasar selalu merupakan penyebab keresahan
dalam suatu masyarakat atau negara. oleh karena itu, Islam mengajak manusia
untuk menyutujui suatu keyakinan dasar sebagai asa tunggal bagi kehidupan
bersama. Keyakinan dasar yang ditawarkan Islam itu adalah Tauhid.
Meskipun kata tauhid tidak
dijumpai di dalam Al-Quran, kata ini sangat tepat mengungkapkan isi Al-Quran,
yaitu ajaran tentang kemahaesaan tuhan. Bahkan, kata itu juga secara tepat
menggambarkan inti ajaran semua nabi dan rasul Tuhan yang telah diutus untuk
setiap kelompok manusia di bumi sampai tampilnya Nabi Muhammad SAW yang membawa
ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.[2]
Mengapa tauhiddiapandang
sebagai prinsip dasar Islam yang utama bagi pengelolaan hidup bermasyarakat? Sebab,
tauhid adalah intisari Islam. Dapat dipastikan bahwa tidak ada satu pun
perintah atau larangan dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa
tauhid takkan ada Islam. Tauhid tidak hanya berarti percaya kepada Allah saja,
tetapi mencakup pula pengertian yang benar tentang siapa Allah yang kita sembah
itu dan bagaimana kita bersikap kepada-Nya serta kepada obyek-obyek selain dia.
Apa Implikasi nyata dari ajaran
tauhid dalam kehidupan bermasyarakat? Iman membawa seseorang mengenal jati
dirinya dan mengakui kelemahan dirinya. Jika seseorang memiliki iman yang kuat,
ia akan menyadari eksistensi dirinya sebagai hamba Allah, yang harus patuh dan
taat hanya kepada Nya.Dengan kesadaran tersebut seseorang terhindar dari sifat
arogan dan takabur. Tauhid membawa efek pembebasan diri manusia dari belenggu
hawa nafsu yang menjadi sumber kesombongan, kecongkakan, dan sifat tiranik.
Dengan kata lain, terdapat kolerasi positif antara tauhid dan nilai-nilai
pribadi yang positif. seorang yang memiliki iman yang benar akan bersikap
kritis, rasional, jujur, dan juga mandiri.
Tujuan lain dari tauhid adalah
menyadarkan manusia bahwa pada hakikatnya semua manusia itu sederajat di
hadapan Tuhan. Tidak ada perbedaan antara manusia yang satu dengan manusia
lainnya selain takwanya kepada Tuhan. tauhid sesungguhnya tidak hanya merupakan
pernyataan keesaan Tuhan, melainkan juga mengandung pengakuan tentang kesatuan
dan kesamaan manusia dalam semua hal. Sebagai konsekuensinya, masyarakat Islam
yang berlandasakan tauhid tidak akan membenarkan diskriminasi dalam bentuk
apapun, baik yang didasarkan atas perbedaan ras, agama, kasta maupun kelas. Masyarakat
Islam yang sebenarnya adalah masyarakat yang menjamin kesatuan sempurna di
antara para anggotanya dan tidak mengakui adanya perbedaan dalam bentuk apapun.[3]
Implikasi yang paling konkret dari
ajaran tauhid dalam kehidupan bermasyarakat adalah terwujudnya pola hubungan
antarmanusia dalam semangat egalitarianisme. Ajaran tauhid mendorong timbulnya
emansipasi harkat dan martabat manusia yang berlandaskan iman kepada Allah. Setiap
manusia mempunyai hak-hak asasi yang harus dihormati, tidak seorang manusiapun
yang dibenarkan diingkari hak-hak asasinya, sebagaimana juga tidak seorangpun
dari mereka yang dibolehkan mengingkari hak-hak asasi orang lain. Prinsip
tauhid mendukung sistem demokrasi, dan menolak sistem totaliter, otoriter, dan
tiranik.
Landasan Sunatullah.
Prinsip dasar Islam yang kedua dalam
mengelola kehidupan masyarakat adalah prinsip sunatullah, yaitu kepercayaan
bahwa alam semesta ini termasuk kehidupan umat manusia, tunduk kepada sunatullah
dan sunatullah tersebut tidak pernah dan tidak akan berubah.
Sunatullah adalah undang-undang Tuhan dalam alam semesta, yaitu
undang-undan yang teratur dan seimbang, yang tidak berubah dan tidak bertukar. Manusia mampu
mengetahui undang-undang ini karena ia dianugerahi pendengaran, pengelihatan,
dan perasaan yang dapat ia gunakan untuk melihat sagala keindahan ciptaan
Tuhan. Jika hukum itu dipahami dan dijadikan pedoman dalam melaksanakan suatu
kegiatan neiscaya kegiatan itu akan berhasil dan membawa kebahagiaan. Pada
hakikatnya, sunatullah adalah hukum alam, yaitu hukum-hukum ciptaan Tuhan yang
mencakup seluruh alam semesta, termasuk di dalamnya diri manusia sendiri.
Makna sunatullah dapat dipahami
dengan baik jika dipahami terlebih dahulu hakikat kada dan kadar
dalam Islam. Manusia pada dasarnya memiliki kebebasan dan kemampuan dalam
dirinya untuk memilih dan melakukan perbuatan-perbuatannya. Oleh karenanya
wajar jika manusia mendapat pahala dan siksa dari Allah SWT berdasarkan
kehendak dan perbuatannya itu.
Prinsip sunatullah berkaitan erat
dengan ide kebebasan manusia di dalam kehendak dan perbuatan. Ide itu secara
tidak langsung mendorong terjadinya perubahan sosial di kalangan umat Islam.
Prinsip sunatullah membawa kepada pengakuan adanya pluralisme dalam masyarakat.
Karena manusia memiliki kemampuan dan kesanggupan yang berbeda satu sama lain.
Ada manusia yang hanya memusatkan seluruh kegiatannya pada satu obyek saja, ada
pula yang mengembangkannya pada beberapa obyek. demikian pula dengan bakat dan
pembawaan manusia sangat bervariasi. Mengenal hukum alam merupakan dasar bagi
manusia supaya ia dapat mencapai tujuannya di dalam hidup.
Kemajemukan atau pluralitas umat
manusia merupakan sunatullah atau suatu kenyataan yang telah menjadi kehendak Allah.
Prinsip sunatullah jika dikaitkan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat
dapat diinterpretasikan bahwa dalam pengelolaan masyarakat atau negara
hendaknya diperhatikan watak-watak manusia sesuai dengan fitrah alaminya, dan
jangan dipaksakan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia itu.
Sunatullah mengingatkan para pemimpin Islam bahwa masyarakat Islam adalah
masyarakat yang majemuk, yang terdiri dari berbagai suku, bangsa, dan ras, yang
memiliki watak dan pembawaan yang sangat beragam. hal ini hendaknya diterima
sebagai suatu ketetapan Tuhan yang tidak dapat diubah. Karena itu, setiap
langkah kebijakan yang akan ditempuh hendaknya senantiasa memperhitungkan
kondisi sosial budaya dari masyarakat yanga dihadapinya.
Landasan Persamaan Antarmanusia
Prinsip persamaan antar manusia
dipandang sebagai prinsip dasar Islam yang ketiga bagi pengelolaan hidup
bernegara dan bermasyarakat.keesaan Allah dan perwujudan sunatullah di alam ini
menuntut adanya persamaan derajat manusia di hadapan Allah SWT dan kepatuhan
mereka secara bersama-sama terhadap sunnahnya itu membawa kepada persamaan hak
dan kewajiban mereka.
Jika manusia itu seluruhnya sama dan
yang membedakan di antara mereka hanyalah takwanya kepada Tuhan. Bahkan umat
Islam itu bukan hanya sama, melainkan juga bersaudara satu sama lain dengan hak
dan kewajiban yang sama. Semua muslim itu bersaudara dan mereka harus saling
mencintai satu sama lain. Tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Karenanya, dapat dikatakan bahwa
prinsip persamaan adalah salah satu prinsip kehidupan bermasyarakat yang asasi
dalam Islam.
Prinsip persamaan antar manusia
menegaskan bahwa pengelolaan hidup bermasyarakat dalam Islam tidak didasarkan
pada ikatan-ikata primordial, seperti keturunan, kesukuan, dan kehormatan
golongan. Itulah sebabnya dalam masyarakat Islam tidak di kenal bentuk
mayoritas, tidak ada kelas, tidak ada kelompok elite atau borjuis, juga tidak
ada kelompok aristrokat.
Berlandaskan tiga prinsip dasar
tersebut diharapkan perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat didasari
oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, solidaritas yang kuat dan rasa
keadilan. Ketiga prinsip itu hendaknya menjadi pegangan umat Islam dalam mengelola
pemerintahan, serta dalam mengatur dan membina masyarakat sesuai dengan
tuntutan zaman yang senantiasa berubah seiring dengan perkembangan sains dan
teknologi.
GEREJA KATOLIK MEMANDANG NEGARA
Negara dalam kaitannya dengan
kehidupan agama dan politik merupakan lembaga yang menyelenggarakan dan
mengupayakan kesejahteraan para warganya. Misalnya, dalam kehidupan agama para
warga, negara bertugas menciptakan
suasana bagi berkembangnya kebebasan beragama, negara harus menghargai
hak keagaaman warga dan persekutuan keagamaan, menjamin pendidikan agama dan
moral sesuai keyakinan masing-masing dalam kekhasan lembaga pendidikan dimana
seoranng dididik.
Sedangkan untuk kehidupan politik,
negara wajib menciptakan perangkat peraturan (UU), perangkat kerja (sistem),
dan perangkat pemerintahan (pelaksana) yang terarah pada terpupuk dan
terwujudnya citaras batin: keadilan, kebebasan jiwa, dan pelayanan bagi
kepentingan umum dan memperkuat keyakinan-keyakinan dasar sekitar kodrat yang
benar dan tujuan dari masyarakat politik, pelaksanaan dan batas-batas wewenang
negara.[4]
Tidak semestinya negara mengambil
alih atau mengintervensi urusan intern masing-masing agama. Demikian pula
jangan dicampur-adukan kebijakan politik dengan kebijakan agama, urusan negara
dengna urusan agama, sebab kalau itu terjadi maka agama sebagai pemandu moral
bagi kehidupan politik akan kehilangan dayanya. Politisasi (suatu) agama akan
sangat membahayakan kebersamaan hidup di negara yang plural dalam hal agama
seperti negara kita ini. Dengan kata lain, agama jangan mengabdi atau diabdikan
kepada politik, sebaliknya menjadai cahaya.
Agama dalam pandangan Gereja Katolik
bukan merupakan dua hal yang harus dipisahkan, melainkan hanya dibedakan.
Pembedaan itu perlu, karena masing-masing memiliki asas dan dasarnya sendiri
serta bergerak pada tataran yang berbeda. Politik yang baik adalah politik yang
bermoral, dan agama menjadi salah satu benteng moral bagi pelaksanaan kehidupan
politik yang dijalankan secara etis. Agama dan politik tidak bisa disamakan.
Bahwa keduanya melekat pada suatu pribadi yang harus mengahayati atau menjadi
pelakunya, itulah tantangan yang harus dijawab agar dia (mereka)
sungguh-sungguh mampu membedakan peran
serta posisinya.
Keterlibatan dalam bidang sosial
politikmerupakan suatu panggilan mulia orang Katolik demi kesejahteraan umum.
Maka dalam keterlibatannya itu orang Katolik wajib memperjuangkan kebenaran dan
keadilan, dengan memegang prinsip dasar bahwa keselamatan rakyat itulah hukum
yang paling mendasar (solus populi supreme lex).
Keterlibatan orang Katolik dalam tata
politik praktis memang dijiwai oleh iman Katolik, namun mereka haus berjuang
atas nama pribadi atau kelompok politiknya, atas prakarsa sendiri, dan dengan tanggung jawab sendiri, bukan atas
nama gereja. Tiada seorang pun dapat mengatasnamakan Gereja Katolik dalam
langkah politiknya. Para rohaniwan harus mengikuti pelbagai dinamika kehidupan
politik sehingga tetap menjadi bagian seluruh gerakan masyarakat, tanpa harus
terjun aktif falam organisasi politik.[5]
Hal itu dengan amat jelas dikatakan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) dapa Knon
285 paragraf 3: “para klerikus dilarang menerima jabatan-jabatan publik yang
membawa serta partisipasi-partisipasi dalam pelaksanaan kuasa sipil”.
Tanggapan Kritis
Islam sangat berbeda dengan
agama-agama lain di dunia. Sejak awal berdirinya, Islam selalu bersentuhan
dengan masalah kenegaraan, bahkan masalah politik. Islam adalah agama yang
terkait erat dengan kenegaraan. Tidak dipungkiri juga bahwa Islam terkait
dengan caranya menegakan sesuatu dengan cara yang berbau anarkis. Seperti yang
telah saya uraikan di atas, sampai kini belum ada kesepakatan pendapat mengenai
sejumlah konsep politik dalam Islam, seperti konsep negara Islam.
Di Indonesia, kehadiran Islam di
dalam pentas politik memberikan warna sendiri. Beberapa kasus kekerasan terjadi
di Indonesia, baik pertikaian antar ormas Islam dan juga pertikaian Islam
dengan agama lain. Belakangan kasus Front Pembela Islam, menuai banyak protes
dari banyak kalangan di Indonesia. Dalam perkembangannya sejarah mencatat
adanya perpecahan, pertentangan, dan bahkan penumpahan darah dalam tubuh umat
Islam. Lain alirannya, lain pula cara pandangnya. Begitu yang terjadi di
Indonesia. Umat Islam yang ortodoks dan juga militan, melawan umat Islam yang
liberal dan juga agama-agama lain.
Seperti yang saya uraikan, tulisan
ini adalah bagaimana saya mengangkat ‘seharusnya yang ditegakkan di Indonesia’
sebagai sikap dasar yang seharusnya di pegang oleh saudara-saudara kaum Muslim dan
juga tokoh-tokoh agama yang berkarya di dunia politik tanah air. Sangat
bertentangan dengan fakta yang terjadi di Indonesia. Konsep negara Islam sangat
bersentuhan dengan permasalahan pluralisme di Indonesia. Pancasila dan juga
demokratisasi yang sampai saat ini masih perlu diperjuangkan eksistensinya, di
tengah maraknya kasus anarkis yang di lakukan oleh ormas-ormas Islam, secara
khusus FPI.
Mengutip refleksi teologi Gus Dur
tentang Islam dan Demokrasi: Pertama-tama,
komitmen Islam atas manusia adalah diharusknnya umat muslim mengikuti
keteladanan sempurna Muhammad sebagai utusan Allah (Rasulullah). Apa inti dari
pengutusan Muhammad tersebut? Pertama, penghambaan secara total kepada Allah
dan inilah sbenarnya inti penafsiran tunggal atas Islam: kepasrahan. Kedua,
manusia yang dalam keadaan bersih (fitrah) pada asalnya, dan karena itu bersih
dari dosa asal itu, dalam pandangan Islam, diberi amanah membangun dunia dengan
tujuan akhir apa yang oleh al-Quran disebut rahmatan lil ‘alamin
(membangun kesejahteraan bagi seluruh alam) dan baldatun tayyibatun wa
rabbun ghafur (negara yang adil makmur dan penuh pengampunan). Bagi Gus
Dur, rupa-rupanya, agama apapun sam-sama mengandung misi untuk perbaikan
kehidupan umat manusia melalui perubahan struktur masyarakat.
Indonesia yang berlandaskan Pancasila
dan juga semboyan Bhineka Tunggal Ika harus terus kita jaga. Jangan malah
dirusak oleh ideologi-ideologi agama yang malah akan merusak keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Masing-masing agama tentunya memiliki pandangannya
mengenai negara, dan saya yakin semuanya mengajarkan bagaimana negara kita
bangun dengan kaidah-kaidah yang positif. Yang membawa kebaikan dan juga demi
terciptanya masyarakat yang aman damai dan sejahtera. Seperti yang dikatakan
oleh Mgr. Soegija 100% Katolik, 100% Indonesia, juga bisa dipakai oleh
agama-agama lain. Misalnya 100% Islam, 100% Indonesia.
Daftar Pustaka:
Mintaredja, SH H.M. Syafaat. Islam
dan Politik, Islam dan Negara di Indonesia. Jakarta: PT. Septenarius. 1976.
Mulia, Musdah. Negara Islam. Jakarta:Kata
Kita.2010.
Mulkan, Munir A. et all. Agama dan
Negara. Yogyakarta: Interfidei. 2002.
Natsir,M. Agama dan Negara, Dalam
Perspektif Islam.Jakarta:Media Da’wah. 2001.
Suaedy,
Ahmad. Perspektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru
Demokratisasi. Jakarta: The Wahid Institute.2009.
Pedoman
Gereja Katolik Indonesia. KWI. 1995.
Dokumen
Konsili Vatikan II. Gaudium et Spes.